Kamis, 01 Desember 2011

koperasi dalam menghadapi era globalisasi

Tak dapat disangkal, bahwa masyarakat di berbagai belahan dunia, atau negara sebagai representasi institusional secara keseluruhan, telah memasuki suatu medan globalisasi yang dicirikan salah satunya melalui perdagangan bebas. Berbagai kesepakatan, jalinan kerjasama, perjanjian multilateral, berbagai kelompok negara maju dan berkembang, penyatuan mata uang, dan lain-lain, merupakan suatu wujud dari lintas batas geografis-regional menuju pada kepentingan ekonomi internasional yang tak terhindarkan. Sistem-sistem perekonomian tertutup atau strategi domestik perekonomian nasional menurut Hirst dan Thompson- bisa jadi memang tidak relevan, setidaknya jika dilihat bahwa tidak ada satu negara pun di dunia saat ini berdiri sendiri dan tidak terimbas oleh alur perubahan serta perkembangan situasi ekonomi kontemporer.
Sang primadona perekonomian yang kian ditinggalkan ini harus berbenah diri, jika hendak bersaing dengan dunia global. KOPERASI, namanya kini kian tenggelam ditengah persaingan bisnis para pengusaha besar. Akan tetapi kehadirannya juga kian dirindukan oleh sebagian dari masyarakat Indonesia mengharapkan koperasi yang sebagai cikal bakal berkembangnya perekonomian Indonesia ini semakin berkembang dan mampu kian bersaing dengan dunia global.
Yang menentukan ketika menghadapi persaingan global dalam pengembangan eksistensi koperasi ialah dengan kondisi krisis proses konsolidasi Gerakan Koperasi.
Dalam rangka ini pun peran gerakan koperasi harus terus dimantapkan untuk menghadapi dinamika perekonomian global.
Sumber daya manusia yang kurang memadai apalagi di saat krisis ekonomi rakyat yang dapat diperkuat dalam wadah koperasi memiliki daya tahan jauh lebih kuat menghadapi krisis .
Bila dikaitkan dengan konsep ‘globalisasi”, menurut Michael Hammer dan James Champy menuliskan bahwa ekonomi global berdampak terhadap 3 C, yaitu customer, competition dan change. Pelanggan menjadi penentu, pesaing makin banyak, dan perubahan menjadi konstan. Tidak banyak orang yang suka akan perubahan, namun walau begitu perubahan tidak bisa dihindarkan. Harus dihadapi, karena hakikatnya memang seperti itu maka diperlukan satu manajemen perubahan agar proses dan dampak dari perubahan tersebut mengarah pada titik positif.
Pemberdayaan Ekonomi rakyat melalui koperasi hanya dapat dilakukan jika koperasi sendiri mempunyai kekuatan. Persoalannya koperasi Indonesia bahkan duniapun menghadapi dua masalah yang luar biasa besarnya dan terus memperlemah koperasi yaitu dekadensi Idiologi dan ancaman globalisasi. Sejarah koperasi Indonesia yang selalu identik dengan perannya sebagai alat politik dan kepentingan yang membuat. konstruksi berfikir koperasi Indonsia terperangkap kepada pragmatisme sempit yang dikemudian hari terus mereduksi kekutan idiologis koperasi. Fenomena kemunduran idialisme sebenarnya tidak hanya terjadi Di Indonesia, dekadensi idiologis terjadi juga dikoperasi-koperasi barat. Kondisi ini membuat Alex Laindlaw pada tahun 1980 bersuara kritis memperingatkan terjadinya krisis idiologi di tubuh gerakan koperasi.
Ada dua hal yang mempengaruhi kemampuan sebuah koperasi untuk bisa bertahan atau unggul dalam persaingan (terutama jangka panjang) di pasar, yakni: kemampuan menetapkan harga dan struktur pasar. Dua koperasi (atau perusahaan) akan mendapatkan kesempatan yang berbeda untuk survive karena masing-masing berbeda dalam kemampuan menetapkan harga dan struktur pasar yang dihadapi. Namun demikian, ada satu hal yang jelas yakni bahwa dalam bentuk pasar apapun juga, terkecuali monopoli (misalnya persaingan sempurna atau persaingan monopolistik), kemampuan koperasi maupun perusahaan non-koperasi untuk bisa unggul dalam persaingan dalam periode jangka panjang ditentukan oleh kualitas dan efisiensi.
Koperasi di Indonesia akan menghadapi tantangan bahkan ancama serius dari globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan dunia.
Salah satu perbedaan penting yang membuat koperasi di Indonesia pada khususnya tidak berkembang sebaik di negara-negara maju (NM) adalah bahwa di NM koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Sedangkan, di NSB koperasi dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dalam kata lain, bobot politik atau intervensi pemerintah di dalam perkembangan koperasi di NSB atau Indonesia terlalu kuat. Sementara di NM tidak ada sedikitpun pengaruh politik sebagai ”pesan sponsor”. Kegiatan koperasi di NM murni kegiatan ekonomi.Di Indonesia koperasi masih merupakan bagian dari sistem sosial politik. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan umum bahwa koperasi di Indonesia penting demi kesejahteraan masyarakat dan keadilan, bukan seperti di NM bahwa koperasi penting untuk persaingan.
Khusus di bidang ekonomi, globalisasi menampilkan bentuknya dengan prinsip perdagangan bebas dan perdagangan di tingkat dunia (world trade). Dengan demikian globalisasi ekonomi ini mengarah pada suatu aktifitas yang muItinasional. Ungkapan lain untuk proses ini dinamakan juga sebagai “universalisasi sistem ekonomi” (theuniversalization of the economic system), Berbagai institusi-institusi perekonomian dunia akan “dipaksa” untuk mengikuti pergulatan di dalamnya, termasuk dalam hal ini tentu saja berlaku bagi badan-badan usaha koperasi yang banyak digeluti oleh usaha ekonomi rakyat di Indonesia
Bagi Indonesia, jelaslah bahwa implikasi dari perdagangan bebas ini adalah pentingnya upaya untuk membuka ketertutupan usaha, peluang, dan kesempatan, terutama bagi usaha koperasi yang menjadi salah satu pola usaha ekonomi rakyat. Hal ini menjadi sangat penting karena produk yang dihasilkan dari Indonesia harus berkompetisi secara terbuka tidak hanya di pasar dalam negeri, melainkan juga di luar negeri/pasar internasional.
Salah satu contoh kasus ini dapat dilihat dalam produk-produk pertanian. Pada waktu yang bersamaan, negara-ncgara produsen lain hasil-hasil pertanian juga mengalami hal yang sama dalam memasuki perdagangan bebas kelas dunia ini, sehingga persaingan produk-produk pertanian di pasar intemasional akan semakin tinggi. Persaingan tidak hanya dalam harga dan kualitas akan tetapi juga bentuk, rasa, dan kemasan, serta kontinuitas pasokan. Dalam persaingan bebas, harga produk ditentukan oleh pasar internasional. Oleh karena itu, persaingan harus ditingkatkan melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi. Sejalan dengan itu, nilai tambah yang dihasilkan produk-produk pertanian perlu ditingkatkan melalui industri pengolahan dengan pendekatan sistem agrobisnis dan agroindustri.
Sejalan dengan ide pengembangan eksistensi koperasi, dalam kondisi krisis ekonomi, gIobaIisasi/liberalisasi ekonomi dunia sekarang ini, upaya untuk mendorong dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pembangunan koperasi adalah sangat penting. Keikutsertaan warga masyarakat sebagai pelaku ekonomi tersebut diperlukan dalam upaya mencapai sasaran-sasaran makro pembangunan ekonomi yaitu penyembuhan ekonomi nasional. Hal tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa pembangunan koperasi tidak dapat lagi hanya disandarkan pada pendanaan dari pemerintah, terlebih lagi dengan kondisi keuangan pemerintah sekarang ini yang semakin menyempit karena lebih banyak bersandar pada pinjaman dari luar negeri (terutama IMF).
Jika dari sisi yang satu penyembuhan ekonomi nasional diharapkan dapat dipercepat dengan mengembangkan eksistensi usaha kecil dan koperasi, namun di sisi lain terlihat bahwa kebijaksanaan makro pembangunan ekonomi masih memberikan kesempatan yang lebih besar bagi para pengusaha besar terutama di sektor moneter. Kebijaksanaan moneter khususnya di bidang perkreditan adalah penyebab utama kehancuran sistem ekonomi Indonesia yang harus dibayar bukan saja dari segi materi tetapi juga biaya sosial (social cost) yang sangat besar. Untuk itu mutlak diadakan reformasi total di bidang moneter secara lebih khususnya adalah reformasi kredit (credit reform). Paradigma pembangunan yang menitik beratkan pada pertumbuhan, dengan asumsi akan menciptakan efek menetes ke bawah jelas-jelas sudah gagal total karena yang dihasilkan adalah keserakahan yang melahirkan kesenjangan. Pembangunan pertumbuhan, memang perlu tetapi pencapaian pertumbuhan ini hendaknya melalui pemerataan yang berkeadilan.
Melihat perkembangan akhir-akhir ini jelas tidak tampak adanya reformasi di bidang ekonomi lebih-Iebih di sektor moneter, bahkan kecenderungan yang ada, adalah untuk membangun kembali usaha konglomerat yang hancur dengan cara mengkonsentrasi kemampuan keuangan dengan rekapitulasi bank-bank. Dalam menghadapi situasi seperti ini, alternatif terbaik bagi koperasi dan usaha kecil adalah menghimpun kekuatan sendiri, baik kekuatan ekonomi maupun kekuatan politis, atau baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan ekonomi rakyat, untuk memperkuat posisi tawar (bargaining position) mereka. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mereka harus membangun koperasi, baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan dalam satu kiprah yang simultan, Dengan berkoperasi mereka dapat menghimpun kekuatan kecil-kecil yang ada padanya, untuk digerakan dan diarahkan dalam rangka memperbaiki posisi ekonominya. Dengan menguatnya posisi ekonomi dari mereka, pada gilirannya posisi politisnya pun akan membaik sehingga posisi tawar mereka akan menguat, yang pada gilirannya eksistensinya dalam penentuan kebijaksanaan perekonomian nasional juga akan semakin membaik. Hal tersebut dimungkinkan karena koperasi memiliki peluang yang cukup besar mengingat potensi ekonomi anggota koperasi walaupun kecil-kecil tetapi sangat banyak dan tersebar, sehingga mampu membentuk kekuatan yang cukup besar baik dari aspek produksi, konsumsi maupun jasa-jasa.
Berikut beberapa ringkasan rekomendasi yang dapat dilakukan koperasi untuk menghadapi pasar global (globalisasi ekonomi) :
1) Capacity building di koperasi adalah suatu keharusan, terutama dalam pengembangan teknologi dan sumber daya manusia. Perhatian terhadap pengembangan kedua faktor tersebut harus lebih besar daripada terhadap penyaluran dana. Pelatihan SDM di dalam koperasi tidak hanya menyangkut bagaimana menjalankan sebuah koperasi yang baik, tetapi juga dalam pemahaman mengenai peluang pasar, teknik produksi, pengawasan kualitas (seperti bagaimana mendapatkan ISO), meningkatkan efisiensi, dll. Misalnya, pengurus koperasi pertanian harus paham betul mengenai perkembangan perdagangan pertanian di pasar dunia, termasuk ketentuan-ketentuan dalam konteks WTO, FAO, dll.
2) Sudah waktunya pemerintah, dalam hal ini Menegkop dan UKM, mempunyai database koperasi yang komprehensif, misalnya jumlah koperasi produsen menurut komoditi, daerah dan bentuk serta orientasi pasar, seperti yang dilakukan FAO untuk data pertanian dunia.
3) Dalam menghadapi persaingan, koperasi harus melakukan strategi-strategi yang umum dilakukan oleh perusahaan-perusahaan modern (non-koperasi) atau bahkan yang dilakukan oleh koperasi-koperasi di NM seperti penggabungan dua (lebih) koperasi, akuisisi, atau kerjasama dalam bentuk joint ventures dan aliansi strategis, tidak hanya antar koperasi tetapi juga dengan perusahaan-perusahaan non-koperasi; diversifikasi produksi, spesialisasi, penerapan teknologi informasi, terutama untuk manajemen operasi dan komunikasi elektronik dengan pembeli dan pemasok. Pemerintah bisa memfasilitaskan upaya-upaya tersebut.

Referensi :
http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/reposisi%20koperasi.htm
http://tienivie.wordpress.com/2010/11/02/globalisasi-koperasi/

Sulitnya perkembangan koperasi di Indonesia

Koperasi sebagai suatu sistem ekonomi, mempunyai kedudukan (politik) yang cukup kuat karena memiliki cantolan konstitusional, yaitu berpegang pada Pasal 33 UUD 1945, khususnya Ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Dalam Penjelasan UUD 1945 itu dikatakan bahwa bangun usaha yang paling cocok dengan asas kekeluargaan itu adalah Koperasi. Tafsiran itu sering pula dikemukakan oleh Mohammad Hatta, yang sering disebut sebagai perumus pasal tersebut. Pada Penjelasan konstitusi tersebut juga dikatakan, bahwa sistem ekonomi Indonesia didasarkan pada asas Demokrasi Ekonomi, di mana produksi dilakukan oleh semua dan untuk semua yang wujudnya dapat ditafsirkan sebagai Koperasi.
Koperasi di Indonesia dalam perkembangannya mengalami pasang dan surut. Saat ini pertanyaannya adalah “Mengapa Koperasi sulit berkembang?” Padahal, upaya pemerintah untuk memberdayakan Koperasi seolah tidak pernah habis. Bahkan, bisa dinilai, mungkin amat memanjakan. Berbagai paket program bantuan dari pemerintah seperti kredit program: KKop, Kredit Usaha Tani (KUT), pengalihan saham (satu persen) dari perusahaan besar ke Koperasi, skim program KUK dari bank dan Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang merupakan kredit komersial dari perbankan, Permodalan Nasional Madani (PNM), terus mengalir untuk memberdayakan gerakan ekonomi kerakyatan ini. Tak hanya bantuan program, ada institusi khusus yang menangani di luar Dekopin, yaitu Menteri Negara Urusan Koperasi dan PKM (Pengusaha Kecil Menengah), yang sebagai memacu gerakan ini untuk terus maju. Namun, kenyataannya, Koperasi masih saja melekat dengan stigma ekonomi marjinal, pelaku bisnis yang perlu “dikasihani”.
Berikut adalah beberapa kendala pokok yang dihadapi oleh koperasi di Indonesia :
1. Kurangnya Partisipasi Anggota
Bagaimana mereka bisa berpartisipasi lebih kalau mengerti saja tidak mengenai apa itu koperasi. Hasilnya anggota koperasi tidak menunjukkan partisipasinya baik itu kontributif maupun insentif terhadap kegiatan koperasi sendiri. Kurangnya pendidikan serta pelatihan yang diberikan oleh pengurus kepada para anggota koperasi ditengarai menjadi faktor utamanya, karena para pengurus beranggapan hal tersebut tidak akan menghasilkan manfaat bagi diri mereka pribadi. Kegiatan koperasi yang tidak berkembang membuat sumber modal menjadi terbatas. Terbatasnya usaha ini akibat kurangnya dukungan serta kontribusi dari para anggotanya untuk berpartisipasi membuat koperasi seperti stagnan. Oleh karena itu, semua masalah berpangkal pada partisipasi anggota dalam mendukung terbentuknya koperasi yang tangguh, dan memberikan manfaat bagi seluruh anggotanya, serta masyarakat sekitar.
2. Sosialisasi Koperasi Belum Optimal
Tingkat partisipasi anggota koperasi masih rendah, ini disebabkan sosialisasi yang belum optimal. Masyarakat yang menjadi anggota hanya sebatas tahu koperasi itu hanya untuk melayani konsumen seperti biasa, baik untuk barang konsumsi atau pinjaman. Artinya masyarakat belum tahu esensi dari koperasi itu sendiri, baik dari sistem permodalan maupun sistem kepemilikanya. Mereka belum tahu betul bahwa dalam koperasi konsumen juga berarti pemilik, dan mereka berhak berpartisipasi menyumbang saran demi kemajuan koperasi miliknya serta berhak mengawasi kinerja pengurus. Keadaan seperti ini tentu sangat rentan terhadap penyelewengan dana oleh pengurus, karena tanpa partisipasi anggota tidak ada kontrol dari anggota nya sendiri terhadap pengurus.
3. Manajemen
Manajemen koperasi harus diarahkan pada orientasi strategik dan gerakan koperasi harus memiliki manusia-manusia yang mampu menghimpun dan memobilisasikan berbagai sumber daya yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang usaha. Oleh karena itu koperasi harus teliti dalam memilih pengurus maupun pengelola agar badan usaha yang didirikan akan berkembang dengan baik.
Ketidak profesionalan manajemen koperasi banyak terjadi di koperasi koperasi yang anggota dan pengurusnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. contohnya banyak terjadi pada KUD yang nota bene di daerah terpencil. Banyak sekali KUD yang bangkrut karena manajemenya kurang profesional baik itu dalam sistem kelola usahanya, dari segi sumberdaya manusianya maupun finansialnya. Banyak terjadi KUD yang hanya menjadi tempat bagi pengurusnya yang korupsi akan dana bantuan dari pemerintah yang banyak mengucur.
4. Permodalan Lemah
Kurang berkembangnya koperasi juga berkaitan sekali dengan kondisi modal keuangan badan usaha tersebut. Kendala modal itu bisa jadi karena kurang adanya dukungan modal yang kuat dan dalam atau bahkan sebaliknya terlalu tergantungnya modal dan sumber koperasi itu sendiri. Jadi untuk keluar dari masalah tersebut harus dilakukan melalui terobosan structural, maksudnya dilakukannya restrukturasi dalam penguasaan factor produksi, khususnya permodalan.
Kepala Dinas Koperasi UMKM Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Tengah Muhammad Hajir Hadde, SE. MM menyebutkan salah satu hambatan yang dihadapi selama ini diantaranya manajemen dan modal usaha. Hal itu dikatakannya dihadapan peserta Diklat Koperasi Simpan Pinjam KSP dan Unit Simpan Pinjam USP yang saat ini sedang berlangsung di Palu. Untuk mengantisipasi berbagai hambatan dimaksud khususnya manajemen Dinas Kumperindag selaku leading sector terus berupaya mengatasinya melalui pendidikan dan pelatihan serta pemberian modal usaha.
5. Sumber Daya Manusia
Banyak anggota, pengurus maupun pengelola koperasi kurang bisa mendukung jalannya koperasi. Dengan kondisi seperti ini maka koperasi berjalan dengan tidak profesional dalam artian tidak dijalankan sesuai dengan kaidah sebagimana usaha lainnya.
Dari sisi keanggotaan, sering kali pendirian koperasi itu didasarkan pada dorongan yang dipaksakan oleh pemerintah. Akibatnya pendirian koperasi didasarkan bukan dari bawah melainkan dari atas. Pengurus yang dipilih dalam rapat anggota seringkali dipilih berdasarkan status sosial dalam masyarakat itu sendiri. Dengan demikian pengelolaan koperasi dijalankan dengan kurang adanya control yang ketat dari para anggotanya.
Pengelola ynag ditunjuk oleh pengurus seringkali diambil dari kalangan yang kurang profesional. Sering kali pengelola yang diambil bukan dari yang berpengalaman baik dari sisi akademis maupun penerapan dalam wirausaha.
6. Kurangnya Kesadaran Masyarakat
Perkembangan koperasi di Indonesia yang dimulai dari atas (bottom up) tetapi dari atas (top down),artinya koperasi berkembang di indonesia bukan dari kesadaran masyarakat, tetapi muncul dari dukungan pemerintah yang disosialisasikan ke bawah. Berbeda dengan yang di luar negeri, koperasi terbentuk karena adanya kesadaran masyarakat untuk saling membantu memenuhi kebutuhan dan mensejahterakan yang merupakan tujuan koperasi itu sendiri, sehingga pemerintah tinggal menjadi pendukung dan pelindung saja. Di Indonesia, pemerintah bekerja double selain mendukung juga harus mensosialisasikanya dulu ke bawah sehingga rakyat menjadi mengerti akan manfaat dan tujuan dari koperasi.
7. Pemanjaan Koperasi
Pemerintah terlalu memanjakan koperasi, ini juga menjadi alasan kuat mengapa koperasi Indonesia tidak maju maju. Koperasi banyak dibantu pemerintah lewat dana dana segar tanpa ada pengawasan terhadap bantuan tersebut. Sifat bantuanya pun tidak wajib dikembalikan. Tentu saja ini menjadi bantuan yang tidak mendidik, koperasi menjadi ”manja” dan tidak mandiri hanya menunggu bantuan selanjutnya dari pemerintah. Selain merugikan pemerintah bantuan seperti ini pula akan menjadikan koperasi tidak bisa bersaing karena terus terusan menjadi benalu negara. Seharusnya pemerintah mengucurkan bantuan dengan sistem pengawasan nya yang baik, walaupun dananya bentuknya hibah yang tidak perlu dikembalikan. Dengan demikian akan membantu koperasi menjadi lebih profesional, mandiri dan mampu bersaing.
8. Demokrasi ekonomi yang kurang
Dalam arti kata demokrasi ekonomi yang kurang ini dapat diartikan bahwa masih ada banyak koperasi yang tidak diberikan keleluasaan dalam menjalankan setiap tindakannya. Setiap koperasi seharusnya dapat secara leluasa memberikan pelayanan terhadap masyarakat, karena koperasi sangat membantu meningkatkan tingkat kesejahteraan rakyat oleh segala jasa – jasa yang diberikan, tetapi hal tersebut sangat jauh dari apa ayang kita piirkan. Keleluasaan yang dilakukan oleh badan koperasi masih sangat minim, dapat dicontohkan bahwa KUD tidak dapat memberikan pinjaman terhadap masyarakat dalam memberikan pinjaman, untuk usaha masyarakat itu sendiri tanpa melalui persetujuan oleh tingkat kecamatan dll. Oleh karena itu seharusnya koperasi diberikan sedikit keleluasaan untuk memberikan pelayanan terhadap anggotanya secara lebih mudah, tanpa syarat yang sangat sulit.
Permasalahan yang dihadapi koperasi di Indonesia dapat di kelompokan terhadap 2 masalah umum, yaitu :
A. Permaslahan Internal
Kebanyakan pengurus koperasi telah lanjut usia sehingga kapasitasnya terbatas. Pengurus koperasi juga tokoh dalam masyarakat, sehingga “rangkap jabatan” ini menimbulkan akibat bahwa fokus perhatiannya terhadap pengelolaan koperasi berkurang sehingga kurang menyadari adanya perubahan-perubahan lingkungan.
Bahwa ketidakpercayaan anggota koperasi menimbulkan kesulitan dalam memulihkannya. Oleh karena terbatasnya dana maka tidak dilakukan usaha pemeliharaan fasilitas (mesin-mesin), padahal teknologi berkembang pesat; hal ini mengakibatkan harga pokok yang relatif tinggi sehingga mengurangi kekuatan bersaing koperasi.
Administrasi kegiatan-kegiatan belum memenuhi standar tertentu sehingga menyediakan data untuk pengambilan keputusan tidak lengkap; demikian pula data statistis kebanyakan kurang memenuhi kebutuhan.
Kebanyakan anggota kurang solidaritas untuk berkoperasi di lain pihak anggota banyak berhutang kepada koperasi.
Dengan modal usaha yang relatif kecil maka volume usaha terbatas; akan tetapi bila ingin memperbesar volume kegiatan, keterampilan yang dimiliki tidak mampu menanggulangi usaha besar-besaran; juga karena insentif rendah sehingga orang tidak tergerak hatinya menjalankan usaha besar yang kompleks.
B. Permasalahan eksternal
Bertambahnya persaingan dari badan usaha yang lain yang secara bebas memasuki bidang usaha yang sedang ditangani oleh koperasi. Karena dicabutnya fasilitas-fasilitas tertentu koperasi tidak dapat lagi menjalankan usahanya dengan baik, misalnya usaha penyaluran pupuk yang pada waktu lalu disalurkan oleh koperasi melalui koperta sekarang tidak lagi sehingga terpaksa mencari sendiri.
Tanggapan masyarakat sendiri terhadap koperasi; karena kegagalan koperasi pada waktu yang lalu tanpa adanya pertanggungjawaban kepada masyarakat yang menimbulkan ketidakpercayaan pada masyarakat tentang pengelolaan koperasi.
Tingkat harga yang selalu berubah (naik) sehingga pendapatan penjualan sekarang tidak dapat dimanfaatkan untuk meneruskan usaha, justru menciutkan usaha.
Persoalan-persoalan yang dihadapi koperasi kiranya menjadi relatif lebih akut, kronis, lebih berat oleh karena beberapa sebab :
o Kenyataan bahwa pengurus atau anggota koperasi sudah terbiasa dengan sistem penjatahan sehingga mereka dahulu hanya tinggal berproduksi, bahan mentah tersedia, pemasaran sudah ada salurannya, juga karena sifat pasar “sellers market” berhubungan dengan pemerintah dalam melaksanakan politik. Sekarang sistem ekonomi terbuka dengan cirri khas “persaingan”. Kiranya diperlukan penyesuaian diri dan ini memakan waktu cukup lama.
o Para anggota dan pengurus mungkin kurang pengetahuan / skills dalam manajemen. Harus ada minat untuk memperkembangkan diri menghayati persoalan-persoalan yang dihadapi.
o Oleh karena pemikiran yang sempit timbul usaha “manipulasi” tertentu, misalnya dalam hal alokasi order / tugas-tugas karena kecilnya “kesempatan yang ada” maka orang cenderung untuk memanfaatkan sesuatu untuk dirinya terlebih dahulu.
o Pentingnya rasa kesetiaan (loyalitas) anggota, tetapi karena anggota berusaha secara individual (tak percaya lagi kepada koperasi) tidak ada waktu untuk berkomunikasi, tidak ada pemberian dan penerimaan informasi, tidak ada tujuan yang harmonis antara anggota dan koperasi dan seterusnya, sehingga persoalan yang dihadapi koperasi dapat menghambat perkembangan koperasi.

Referensi :
http://www.rripalu.com/?q=content/koperasi-sulit-berkembang-apa-hambatannya
http://dwisetiati.wordpress.com/2011/10/24/mengapa-koperasi-di-indonesia-sulit-berkembang/
http://dicilala.blogspot.com/2011/10/koperasi-sulit-berkembang-di-negeri.html

koperasi dan kapitalisme global

Prolog
“… Koperasi yang setia pada jatidirinya, dan justru karena itu,
berhasil menjawab tantangan-tantangan globalisasi…” (Ibnoe Soedjono, 2000)
Dunia saat ini adalah bentuk jejaring interdependensi umat manusia yang tidak lagi terikat oleh batas-batas teritori. Krisis keuangan global yang bermula di Amerika Serikat sejak akhir tahun lalu, dampaknya terlihat terus menjalar ke seluruh belahan dunia dan tak terkecuali Indonesia. Negara kaya-miskin tak dapat menghindarkan diri dari dampak krisis. Begitu juga tragedi kemanusiaan yang terjadi di Jalur Gaza, segera saja menyulut solidaritas warga dunia untuk turut menghentikan kekejaman Israel atas warga sipil Palestina. Begitulah gambaran globalsiasi tanpa batas teritori saat ini, yang oleh R.O Keohane dan Joseph S Nye (2000) dicirikan adanya keluasan (extencity), kekuatan (intencity), kecepatan (velocity) dan dampak (impact).
Globalisasi memang bersifat multidimensional, namun demikian, globalisasi ekonomi senantiasa tampil paling dominan karena globalisasi ekonomi memiliki dampak yang nyata dibandingkan dengan bentuk globalisasi non-ekonomi ( Prakash dan Hart 1999). Dalam sektor ekonomi, koperasi akan dihadapkan pada tantangan jangka panjang dunia yang semakin liberal dengan aktor utama Mutinational dan Transnational Corporation (TNC’s /MNC’s) serta lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan dunia seperti International Monetery Fund (IMF), World Bank, World Trade Organization (WTO) yang merupakan anyaman yang sulur menyulur dari ekonomi global.
Globalisasi yang ditopang oleh kekuatan liberalisasi dan teknologi disatu sisi, telah menghasilkan sebuah gambaran dunia yang diametral. Kelimpahan di satu sisi dan serba kekurangan disisi lain. Globalisasi demikian menjadikan mayoritas masyarakat tak berpunya (the have not) di dominasi oleh minoritas masyarakat berpunya (the have). Pasar bebas (free market) sebagai topangan hidup kepentingan dari kapitalisme mendikte segala bentuk kehidupan masyarakat, dan termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berangkat dari latar belakang diatas maka agar koperasi dapat memainkan perananya secara lebih luas di era globalisasi saat ini, maka ada baiknya kalau kita coba bongkar terlebih dahulu sebetulnya diposisi mana koperasi secara ideologis itu bermain dalam konstelasi global yang di dominasi oleh indeologi kapitalis saat ini. Selanjutnya dalam paper ini juga penulis ingin sampaikan beberapa informasi mengenai capaian-capaian koperasi di dunia sebagai fakta bahwa koperasi sebagai ideologi baru dunia mampu menciptakan dunia yang lain selain kapitalisme. Sebagai isu kekinian atas tuntutan demokratisasi, sengaja dalam paper ini penulis sampaikan sedikit analisa mengenai peluang koperasi untuk bermain di ruang baru yang disebut layanan public (public services).
Koperasi Ditengah Ideologi Lain
Menurut Warner Sombart , kapitalisme adalah sebuah sistem pemikiran ekonomi yang bersifat netral. Sebagai sistem pemikiran, kapitalisme ditandai oleh semangat tiga hal : pemilikan, persaingan dan rasionalitas. Sementara itu banyak pakar yang menganggap bahwa kapitalisme itu adalah sebuah sistem ekonomi atau sosial. Lebih sempit dari itu kapitalisme juga sering disebut sebagai “sistem industri modern”. Tapi dari berbagai pendapat dapat disimpulkan bahwa kapitalisme adalah sebuah bangunan sistem ekonomi yang diletakkan pada sebuah dasar pemikiran bahwa modal adalah sebagai penentu, diatas kepentingan kemanusiaan.
Sebagai sistem ekonomi, kapitalisme dicirikan adanya ; kegiatan ekonomi dan kontrol keuangan oleh usaha-usaha besar milik privat dalam arti orang seorang maupun keluarga, akumulasi laba sebesar-besarnya dalam motif profit (profit oriented), ekonomi pasar persaingan dominan yang ditopang dengan konsumerisme, penentuan harga tenaga kerja yang mengikuti mekanisme pasar.
Sementara, negara bertindak untuk melayani kepentingan pasar yang didominasi oleh para pemilik modal kapital besar. Negara menyokong investasi dan kredit, perlindungan tarif bagi importir, serta hak-hak istimewa. Kapitalisme dalam tahap akumulatif dapat menjaga stabilitas dan memperbesar pembelanjaan militer. Bagi negara-negara penganut paham “kapitalisme pinggiran” seperti Indonesia misalnya, seringkali karena pendapatan melebihi pengeluaranya, negara tak ubahnya sebuah mesin pencari utang.
Karena kita hari ini masih hidup dalam sistem kapitalis itu, maka hingga hari ini kita telah terbiasa dalam kondisi krisis, konflik dan ketegangan sebagai akibat persaingan dan keserakahan. Sebagai ilustrasi dapat kita lihat dengan apa yang terjadi dalam krisis keuangan di Amerika Serikat yang meluas ke seluruh penjuru dunia saat ini. Korporasi kapitalis besar karena untuk motif pencarian untung sebesar-besarnya telah turut pula merusak kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara luas. Sementara negara, bertindak tidak fair dengan justru memberikan dana talangan kepada mereka dalam bentuk dana bail-out.
Sistem kapitalisme global yang dibungkus rapi dalam topeng karitas tetap saja tak dapat menyembunyikan wajah buruk sejatinya. Fakta-fakta menunjukkan bahwa kapitalisme telah menyumbang persoalan berat seperti marginalisasi masyarakat kebanyakan dalam bentuk kemiskinan, pengangguran, dan kerusakan lingkungan. Joseph Stigliz (2007) dalam bukunya “making globalization work” menuliskan fakta-fakta nyata betapa globalisasi berjalan dalam kondisi yang tidak seimbang diantara negara-negara miskin dan kaya.
Korporasi Multinational(Multinational Corporation) dan Korporasi transnasional (Transnational Corporation) yang ditopang oleh ideologi “laissez faire”berusaha memupuk modal akumulatif tanpa mempertimbangkan dampak-dampak sosial yang ditimbulkan. Kapitalisme memasang agensinya seperti IMF (International Monetery Fund), World Bank, World Trade Organization (WTO) untuk mengkampanyekan ; liberalisasi, deregulasi dan privatisasi. Melalui transaksi finansiil spekulatif dan monopoli korporasi, kapitalisme telah menyajikan laju pertumbuhan yang asimetris terhadap persoalan kemanusian secara luas.
Ide-ide perubahan sosial yang mendamba dunia yang lain dan atau mencita akan dunia yang lebih baik memang sudah sering muncul. Dalam hal ini sengaja saya menyebutkan sebagian saja. Sebut saja seperti ide besar ; Sosialisme-marxisme, atau sekadar konsep penjinakan kapitalisme itu sendiri dalam model Negara Kesejahteraan dan atau konsep Status Kewarganegaraan.
Sosialisme-Marxisme menghendaki pemusatan kegiatan ekonomi, kontrol yang ketat pada pemilikan pribadi, memfungsikan negara sebagai mesin ideologi menuju transformasi pada sistem masyarakat tanpa kelas. Namun kita melihat kenyataan bahwa ide sosialisme-marxis tak mampu juga membuktikan dirinya sebagai kekuatan pengimbang. Banyak persoalan yang tak terpecahkan seperti tidak adanya konsep yang jelas dalam proses pemilikan perusahaan paska revolusi, dan proses membangun masyarakat yang dilandaskan pada konsep kesadaran hakiki, kecuali pengandalan pada mesin “kesadaran semu” yang mereka citakan. Sementara fakta sejarah menunjukkan juga bahwa di negara asalnya Eropa Timur, Rusia dan Yugoslavia, Rumania, revolusi sejatinya menuju masyarakat kelas ini juga tidak pernah kita lihat sebagai fakta.
Sementara sebagai konsep penjinakan kapitalisme, konsep Negara Kesejahteraan hanya menempatkan negara sebagai kontrol sosial dan promotor kesejahteraan agar pemiskinan tidak terjadi melalui berbagai produk perundang-undangan tentang jaminan sosial kesejahteraan warga negara. Atau teori Status Kewarganegaraan dengan institusionalisasi hak-hak warga negara di bidang politik ekonomi sosial dan budaya (poleksosbud), dimana kelompok borjuis dan kelas pekerja di integrasikan dalam masyarakat sipil dan kekuasaan dalam proyek “demokratisasi”. Namun apa yang kita dapati bahwa karena dalam hal ini sejatinya kapitalisme tidak berubah substansinya maka yang muncul adalah justru imperialisme dalam bentuknya yang lain, negara-negara penganutnya seperti Eropa Barat dan Amerika Utara yang berubah wujud sebagai Kapitalisme Negara, dimana negara jadi instrumen modal dan perluasan pasar yang ditopang oleh penguasaan mereka terhadap organisasi-organisasi multinasional seperti IMF, World Bank dan WTO.
Gagasan Koperasi : Membangun Dunia Yang Lain
Berbicara tentang gagasan koperasi, tentu tak dapat kita melepaskanya dengan pemikiran pemikiran para reformis sosial non-marxis seperti JP Proudhon, Saint Simon, Carles Fourier, Wiliam King, Rober Owen dan lainya. Pada masa dimana kapitalisme sedang mengalami perubahan yang dramatik dan menimbulkan perangai buruk yang ditopang revolusi industri waktu itulah pemikiran dan juga gerakan perubahan sosial melalui koperasi, co-op atau co-operative pertama-tama muncul.
Asumsi awam, koperasi mungkin hanya dilihat sebagai kegiatan mikro organisasi saja. Sebagai bentuk perusahaan biasa seperti halnya persero kapitalis atau bisnis milik negara. Sebagian mungkin menganggapnya tak lebih sebagai perusahaan orang-orang kecil dan miskin saja. Sesuatu yang dapat dimaklumi karena memang koperasi awalnya hanya berangkat dari ide dasar yang sederhana dari sekelompok buruh di Rochdale, Ingrish yang menghendaki adanya perubahan nasib dengan cara mendirikan sebuah toko kecil yang dimiliki dan dikelola bersama di salah satu gang di Toadlane, Rochdale, Ingrish pada tahun 1844 silam. Padahal apabila kita pahami koperasi itu memiliki dimensi yang luas, baik itu makro-ideologi, mikro organisasi, sebagai gerakan perubahan sosial (social change movement) maupun ruang individualita.
Dalam konsep makro-ideologi, koperasi mencakup sistem sosial, ekonomi dan politik. Secara mikro berbicara mengenai perusahaan demokratik, profesionalisme, manajemen serta social entrepreneurship. Sebagai ruang individualita koperasi bergerak mengangkat harga diri manusia, sementara sebagai gerakan perubahan sosial koperasi ingin memperjuangkan nilai-nilai keadilan dalam sistem demokrasi partisipatorik.
Lebih luas dari itu, karena koperasi itu diletakkan pada sebuah gagasan tentang konsep nilai maka koperasi juga disebut sebagai sebuah sistem pemikiran. Sistem pemikiran yang berbeda dari kapitalisme, sosialisme marxisme, feodalisme, otoritarianisme dan sistem-sistem pemikiran yang lain.
Dalam basis sistem pemikiran, koperasi menyodorkan gagasan adanya hidup bersama dengan tetap mengakui hak-hak individu dan kepemilikan pribadi. Sebagai gagasan fundamental koperasi menghendaki adanya hidup harmoni dalam kerjasama, dan menempatkan kebebasan manusia sebagai individu untuk menetapkan nasibnya sendiri. Konsep koperasi menyakini bahwa, keadilan sejatinya hanya ada dalam hidup bersama dan tidak ada hidup bersama tanpa keadilan. Menurut Mukner (1995), setidak-tidaknya gagasan koperasi itu meliputi : kebebasan, persamaan dalam segala hal, dan keadilan.
Kalau kapitalisme menyandarkan pada konsep organisasi berbasiskan modal (capital base association), maka koperasi dilandaskan pada konsep organisasi yang berbasiskan orang (people base association), dimana kalau sistem kapitalis modal bersifat sebagai penentu, maka berbeda dalam sistem koperasi, modal hanyalah berfungsi sebagai pembantu. Kalau kapitalisme menyandarkan pada filosofi dasar persaingan (competition), maka bertolak belakang dengan koperasi yang dilandaskan pada filosofi mempertinggi nilai kerjasama (cooperation).
Sementara, logika pasar yang dikembangkan oleh koperasi adalah pasar yang adil (fair market) yang berbeda dengan gagasan kapitalisme yang menghendaki pasar bebas (free market). Dominasi pasar yang diakibatkan oleh persaingan bebas dimana yang besar memakan yang kecil dalam sistem kapitalis digantikan dengan sistem pasar yang adil berdasarkan besaran partisipasi. Kalau sistem kapitalis membangun sistem tanggungjawab sosialnya dalam bentuk karitas, maka koperasi membangun hubungan sosial masyarakat dalam jalinan solidaritas setara.
Pertentangan buruh dan majikan diselesaikan dalam konsep integrasi perusahaan koperasi pekerja (Worker Co-op). Dalam koperasi, Organisasi-organisasi buruh dan organisasi pembela kepentingan konsumen yang seringkali bersifat reduktif terhadap kepentingan yang diwakilinya tidaklah diperlukan karena justru mereduksi kepentigan masyarakat itu sendiri. Dalam sistem koperasi, buruh adalah juga pemilik dari perusahaan. Sementara konsumen dalam model perusahaan koperasi konsumen (consumer co-op) juga adalah pemilik.
Walaupun sama-sama menggunakan instrumen perusahaan, koperasi sungguh berbeda dalam substansinya, kalau kapitalisme menyandarkan pada orientasi laba sebesar-besarnya (profit oriented), maka koperasi dilandaskan pada konsep nilai manfaat (benefit oriented). Pembagian yang adil di koperasi juga diwujudkan dalam konsep sistem dana perlindungan kembali (economic patrone refund). Dimana nilai lebih (surplus value) dari kegiatan-kegaitan ekonomi perusahaan diberikan kepada anggota-anggotanya (masyarakat) dalam konsep berdasarkan besaran partisipasi dan juga setidaknya menurut jerih payah.
Koperasi memang produk barat, tapi sebagai suara kemanusiaan terus mengalir ke seluruh penjuru dunia dan sedikit banyak telah mampu membuktikan dirinya sebagai gerakan yang efektif dalam jalan yang damai. Motif koperasi ini jelas, secara ideologis berusaha menciptakan tatanan sosial masyarakat yang berperikemanusiaan dan berkeadilan melalui jalan demokrasi partisipatif. Sementara itu dalam alasan praktisnya juga kongkrit, dimana dengan membentuk atau bergabung bersama di koperasi manfaat-manfaat dari barang atau jasa dapat diperoleh, diproduksi atau di pasarkan lebih baik oleh koperasi daripada di salurkan sendiri melalui saluran swasta kapitalis atau negara.
Koperasi adalah organisasi orang-orang yang dilandaskan pada prinsip yang jelas, kerjasama adalah kuncinya, bagi si kaya maupun si miskin, tua atau muda, laki-laki atau perempuan. Tidak ada sifat permusuhan bagi koperasi terhadap siapapun. Tapi koperasi dengan caranya sendiri sudah barang tentu menolak segala bentuk ekspolitasi, penindasan, pembodohan, pemelaratan, dsb. Bukti-bukti nyata keberhasilan koperasi ini memerlukan waktu yang cukup panjang, butuh konsistensi dan dedikasi penuh dari generasi ke generasi. Sejarah membuktikan bahwa koperasi hanya dapat berjalan dari kemampuan dirinya sendiri, dimulai dari bawah, dikelola secara transparan dan dijadikanya pendidikan sebagai pilar utamanya.

refensi :

keadaan koperasi di Indonesia

Tak dapat disangkal, bahwa masyarakat di berbagai belahan dunia, atau negara sebagai representasi institusional secara keseluruhan, telah memasuki suatu medan globalisasi yang dicirikan salah satunya melalui perdagangan bebas. Berbagai kesepakatan, jalinan kerjasama, perjanjian multilateral, berbagai kelompok negara maju dan berkembang, penyatuan mata uang, dan lain-lain, merupakan suatu wujud dari lintas batas geografis-regional menuju pada kepentingan ekonomi internasional yang tak terhindarkan. Sistem-sistem perekonomian tertutup atau strategi domestik perekonomian nasional menurut Hirst dan Thompson- bisa jadi memang tidak relevan, setidaknya jika dilihat bahwa tidak ada satu negara pun di dunia saat ini berdiri sendiri dan tidak terimbas oleh alur perubahan serta perkembangan situasi ekonomi kontemporer.
Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Sebuah babak baru menuju perdagangan bebas, baik dalam lingkup regional di kawasan ASEAN melalui AFTA maupun kesepakatan yang dijalin melalui G-8 atau G-15, ke semuanya ini merupakan bukti tentang jaring keterlibatan antar negara di wilayah internasional tengah berlangsung, dengan berbagai pengaruh maupun dampak yang diakibatkannya. Konsekuensi logis dari keterbukaan dan kebebasan serta kerjasama internasional itu akan terasa di masing-masing negara. Pada tahun 2020 nanti, tatkala dunia memasuki era perdagangan bebas secara total, Indonesia tengah menyelesaikan masa Pembangunan Jangka Panjang Ke tiga (PJP III tho 1993 s/d 2018). Di harapkan pada saat itu Indonesia benar-benar telah berada dalam kondisi siap siaga menghadapi globalisasi total tersebut. 
Semangat utama dari globalisasi ini adalah interaksi secara global (global interactions), Robertson melihat bahwa kondisi ini ditandai dengan "menyusutnya aspek sosial dari masyarakat" (the social shrinking of society)menuju pada "tumbuhnya kesadaran tentang dunia sebagai totalitas yang tunggal" (a growing awareness of the world as one totality) [3]. Dan dalam prakteknya, globalisasi itu membangun dan bergerak pada tiga pilar besar: ekonomi, politik, kebudayaan. 
Khusus di bidang ekonomi, globalisasi menampilkan bentuknya dengan prinsip perdagangan bebas dan perdagangan di tingkat dunia (world trade). Dengan demikian globalisasi ekonomi ini mengarah pada suatu aktifitas yang muItinasional. Ungkapan lain untuk proses ini dinamakan juga sebagai "universalisasi sistem ekonomi" (the universalization of the economic system), Berbagai institusi-institusi perekonomian dunia akan "dipaksa" untuk mengikuti pergulatan di dalamnya, termasuk dalam hal ini tentu saja berlaku bagi badan-badan usaha koperasi yang banyak digeluti oleh usaha ekonomi rakyat di Indonesia[4].
Bagi Indonesia, jelaslah bahwa implikasi dari perdagangan bebas ini adalah pentingnya upaya untuk membuka ketertutupan usaha, peluang, dan kesempatan, terutama bagi usaha koperasi yang menjadi salah satu pola usaha ekonomi rakyat. Hal ini menjadi sangat penting karena produk yang dihasilkan dari Indonesia harus berkompetisi secara terbuka tidak hanya di pasar dalam negeri, melainkan juga di luar negeri/pasar internasional. 
Salah satu contoh kasus ini dapat dilihat dalam produk-produk pertanian. Pada waktu yang bersamaan, negara-ncgara produsen lain hasil-hasil pertanian juga mengalami hal yang sama dalam memasuki perdagangan bebas kelas dunia ini, sehingga persaingan produk-produk pertanian di pasar intemasional akan semakin tinggi. Persaingan tidak hanya dalam harga dan kualitas akan tetapi juga bentuk, rasa, dan kemasan, serta kontinuitas pasokan. Dalam persaingan bebas, harga produk ditentukan oleh pasar internasional. Oleh karena itu, persaingan harus ditingkatkan melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi. Sejalan dengan itu, nilai tambah yang dihasilkan produk-produk pertanian perlu ditingkatkan melalui industri pengolahan dengan pendekatan sistem agrobisnis dan agroindustri. 
Fakta dan Kondisi dalam SDM
Sekilas, jika melihat tentang krisis moneter yang berlanjut sampai sekarang, koperasi dan usaha kecil membuktikan dirinya sebagai pelaku ekonomi yang tangguh dan unggul, misalnya dalam menanggulangi malsalah pengangguran dan kemiskinan. Terdapat harapan bahwa pengembangan peran terhadap kedua pelaku ekonomi tersebut dapat menjadi tumpuan pemasok devisa negara yang sangat penting artinya dalam proses pemulihan ekonomi nasional (Nationa! Economics Recovery). Namun hal itu menuntut pengembangan kualitas SDM, mulai dari tingkat perencanaan, teknis, sampai dengan tingkat pelaksanaan di lapangan, penguasaan teknologi, dan dukungan sarana, prasarana, serta lembaga pendukung.
Dengan berpijak pada landasan pembangunan nasional: Pancasila, UUD 1945, dan GBHN 1993 (untuk PJP 11 1993 s/d 2018), maka peningkatan kualitas SDM, merupakan faktor yang sangat menentukan dalam menghadapi persaingan global yang tidak dapat lagi bertumpu pada keunggulan komparatif, tetapi lebih menuntut keunggulan kompetitif. Untuk itu diperlukan SDM yang mempunyai kemampuan untuk menguasai teknologi, SDM yang mampu menciptakan kegiatan produksi dengan tingkat produktivitas yang lebih tinggi, mampu menciptakan inovasi dan perubahan-perubahan yang diperlukan serta mampu mengelola sumber daya dan sumber dana yang efisien dan produktif dalam proses produksi, diiringi dengan peningkatan kesejahteraan.
Perubahan perekonomian dunia yang salah satunya ditandai dengan perkembangan informasi teknologi telah mendorong paradigma ekonomi dari Supply Driven Economic menjadi Knowledge Driven Economic. Selanjutnya perkembangan tersebut melahirkan paradigma baru yang dikenal sebagai ”competitiveness paradigm" antar bangsa-bangsa. Dalam era ini, mau tidak mau, Indonesia harus mengkaji ulang tentang masalah pengembangan SDM yang menjadi dilema besar.
Mengenai jumlah SDM dan angkatan kerja di Indonesia, setidaknya terdapat tiga hal yang menarik, yaitu pertama, jumlah masyarakat petani di Indonesia secara absolut dan juga relatif masih sangat besar. perdua, struktur tenaga kerja yang bergerak di sektor pertanian ini didominasi oleh banyaknya buruh tani dan pekerja keluarga, dan ketiga, hanya 0,2 persen tenaga kerja pertanian yang berpendidikan tinggi. Ditinjau dari tingkat pendidikan, kesehatan, dan penguasaan iptek dengan menggunakan pengukuran Human Development Index (HDI) tahun 1996 versi UNDP Indonesia masih masuk pada peringkat 102 dengan nilai HDI 0,641; Philipina mencapai peringkat 95 dengan nilai HDI sebesar 0,832. Vietnam masih berada di bawah peringkat Indonesia dengan nilai
0,540 dan menduduki peringkat 121. Beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Thailand dan Malaysia menduduki peringkat 52 dan 53, dengan nilai HDI masing-masing adalah 0,832 dal. 0,826. Dari perbandingan nilai-nilai tersebut dapat dikatahui bahwa Indonesia perlu mempersiapkan SDMnya secara lebih mantap dan mendasar bagi pembangunan mendatang.
Rendahnya kuallitas SDM di pedesaan terutama disebabkan rata-rata tingkat pendapatan di pedesaan masih rendah. Jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan telah berhasil ditekan yaitu dari sekitar 60 juta orang atau 70 % dari jumlah penduduk pada tahun 1970, menjadi 25,9 juta atau sekitar 13,7 % dari jumlah penduduk pada tahun 1993. Dilain pihak, masih terdapat 20.633 desa yang digolongkan tertinggal, yang seharusnya menjadi garapan badan usaha koperasi pertanian.
Terbatasnya kesempatan kerja di pedesaan meninibulkan urbanisasi tenaga kerja, terutama tenaga kerja terampil. Dengan demikian rata-rata kualitas tenaga kerja di pedesaan tetap rendah, menyebabkan pertumbuhan produktivitas dan efisielisi badan usaha koperasi di sektor pertanian berjalan lambat. 
Langkah-langkah dasar yang diperlukan
Menengok ulang era Orde Baru, sangat tampak bahwa pemanfaatan potensi sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM) lebih diorientasikan pada peningkatan produksi melalui eksploitasi kedua sumberdaya esensial tersebut secara berlebillan. Pendekatan pembangunan waktu itu memang cenderung hanya ditujukan untuk mengejar pertumbuhan melalui peningkatkan produksi dan pendapatan nasional (GNP) dalam waktu cepat, tanpa memperhatikan kondisi ekonomi dan sosial dalam masyarakat serta kelestaran SDA dan lingkungan. Indikator keberhasilan pembangunan hanya dilihat dari kemampuan untuk menekan inflasi dan meningkatkan pertumbuhan. Keadaaan yang demikian antara lain terlihat dengan dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang cenderung memanjakan usaha besar, yang secara langsung maupun tidak langsung telah mendorong terjadinya krisis ekonomi serta kemiskinan dan kesenjangan. Ketidakberdayaan usaha besar untuk eksis dalam perekonomian global baru dirasakan setelah terjadinya krisis moneter yang melumpuhkan hampir semua usaha besar. Kondisi seperti ini sudah lama diramalkan akan terjadi, seperti yang dikemukakan oleh Yoshihara Kunio, sebagai fehomena "kapitalisme semu" atau erzats capitalism.
Sebaliknya, pengembangan perekonomian yang mengarah pada globalisasi dalam bentuk liberalisasi perdagangan kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Lebih ironis lagi regulasi perbankan yang ditujukan untuk memandirikan perusahaan-perusahaan besar swasta, malah mendorong perusahaan-perusahaan tersebut untuk membangun bank-bank baru yang ditujukan untuk mendapatkan lebih banyak lagi pinjaman bersubsidi dari pemerintah, serta memobilisasi dana murah dari masyarakat. Dengan kata lain kebjjaksanaan pemerintah pada waktu itu (sejak awal era tahun 1980-an) memang hanya sebatas move politics yang banyak memiliki kelemahan bila dikaji dari aspek ekonominya. Dalam kondisi yang demikian usaha kecil dan koperasi dengan segala keterbatasannya menjadi sulit berkembang.
Dalam bidang SDM, Indonesia juga mengalami persoalan yang tidak kalah peliknya, khusus di bidang ketenagakerjaan. Sesungguhnya bukan merupakan tanggung-jawab satu instansi saja melainkan merupakan tanggung-jawab bersama antara lembaga pendidikan dan pelatihan, termasuk perguruan tinggi sebagai penyedia tenaga kerja, masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan, dan pemerintah sebagai katalisator pembangunan sekaligus pemakai jasa pendidikan.
Dalam kaitan ini, terdapat dua langkah penting yang perlu dipertimbangkan. Langkah-langkah tersebut diantaranya adalah:
1.      Pembangunan sistem pendidikan dan pelatihan yang diusahakan memenuhi kebutuhan pasar dan dunia usaha dalam kerangka pengembangan ekonomi kerakyatan. Dalam hal ini kalangan perguruan tinggi seyogyanya memantau orientasi pembangunan masa depan dan juga fleksibel/luwes dalam menyesuaikan antara silabus pendidikan dengan kebutuhan koperasi, dunia usaha serta industri. Dalam masa industriallisasi mendatang, dorongan peningkatan penyerapan tenaga kerja terutama pada industri menengah dan kecil. Karena pada kedua kelompok inilah, proporsi tenaga kerja diharapkan dapat terserap sekitar 70-80% dari tambahan angkatan kerja baru. Dengan demikian, penekanan pembangunan mendatang sejalan dengan dorongan gerakan pengentasan kemiskinan nasional[6]
2.      Pembangunan sistem informasi hams terkait dengan semua sarana pengembangan ekonomi kerakyatan, termasuk dalam komoditi dan angkatan kerja. Penciptaan sistem ekonomi sangat terkait dengan informasi maupun sektor-sektor lain seperti komoditi, angkatan dan lapangan kerja maupun distribusinya. Berkaitan dengan hal tersebut, diharapkan aspek ketenagakerjaan juga memiliki peta-peta tentang kebutuhan lapangan kerja menurut spesifikasi lulusan, jenjang dan jenis pendidikan. Informasi distribusi semacam ini akan memudahkan para pengambil kebijaksanaan untuk memantau kondisi kebutuhan SDM yang ada di berbagai tempat di Indonesia. 
Pasar Bebas , Otonomisasi dan Perekonomian Rakyat
Gejala pasar bebas sebagai bagian dari kecenderungan perekonomian dunia mulai terlihat pada 1980-an. Perubahan tatanan perekonomian dunia tersebul ditandai dengan terjadinya pengaturan preferensi perdagangan baik tarif
maupun non tarif oleh negara-negara maju. Perubahan mendasar ini dilatarbelakangi oleh semakin tingginya proteksionisme di negara-negara berkembang. Pengaturan preferensi perdagangan secara langsung mempengaruhi pembangunan di banyak negara berkembang.
Untuk menangkal dampak negatif dari perubahan pereknomian tersebut memang sudah dikeluarkan berbagai kebijaksahaan yang seharusnya sudah terkait dengan tujuan pembangunan untuk kemakmuran rakyat secara keseluruhan. Berbeda dengan strategi pembangunan perekonomian pada dasawarsa sebelumnya yang menekankan pada pembangunan ke sisi penawaran (supply side strategic), yang ditandai dengan pembangunan industri substitusi import, dengan adanya globalisasi seharusnya orientasi pembangunan diarahkan pada sisi permintaaan (demand side strategies). Namun berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkan nampaknya juga belum mampu mendominankan sisi permintaan yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan sebagian besar warga masyarakat. Hal yang demikian memaksa pemerintah untuk kembali memilih sistem perekonomian yang mampu mentransformasikan rakyat menjadi lebih sejahtera, melalui pengembangan konsep sistem ekonomi kerakyatan.
Dikeluarkannya kebijaksanaan makro tersebut tidak dapat diharapkan berhasil dalam waktu singkat. Operasionalisasi dari kebijaksanaan tersebut juga menimbulkan masalah baru, sebagai akibat dari perencanaan ekonomi nasional masa lalu serta lumpuhnya sektor riil. Keadaan ini menyebabkan perekonomian nasional menjadi terpuruk. Dengan adanya masalah yang paling mendasar tersebut, maka dalam era reformasi pembangunan sistem ekonomi kerakyatan menjadi prioritas utama pembangunan. 
            Sistem ekonomi kerakyatan mencakup semua kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh dan untuk kepentingan orang banyak, baik dalam kedudukannya sebagai produsen, pedagang maupun konsumen. Berdasarkan batasan tersebut jelaslah bahwa sistem ekonomi kerakyatan mempunyai dimensi yang luas dan mencakup jumlah penduduk yang sangat besar.
Secara kualititatif gambaran kondisi ekonomi kerakyatan pra reformasi dapat terlihat dari data Departemen Koperasi daln PPK tahun 1997. Data tersebut menginfomasikaln bahwa jumlah usaha kecil dari semua sektor ekonomi mencapi 39.2 juta unit dengan jumlah manusia di dalamnya mencapai lebih kurang 176 juta orang dan volume usahanya mencapai 49 triliun rupiah atau kurang dari 5 juta per unit per tahun.
            Usaha kecil merupakan usaha ekonomi rakyat yang tersebar tidak merata, dan terbanyak adalah di sektor pertanian yaitu mencapai 31,1 juta unit, kemudian diikuti oleh sektor informal 4,2 juta unit. Diketahui bahwa usaha tani di Indonesia produktifitasnya relatif rendah, demikian juga nilai tukarnya sangat memprihatinkan. Kondisi tersebut semakin diperparah lagi dengan sangat kecilnya rata-rata pemilikan lahan, sehingga sebagian besar usaha tani tidak mencapai skala ekonomi yang menguntungkan. Demikian juga dengan sektor informal, sektor ini merupakan sektor peralihan yang produktifitasnya paling rendah di antara semua sektor perekonomian. Dari sini terlihat bahwa selama era orde baru, usaha kecil hanya berpeluang berkembang di sektor-sektor yang memiliki nilai tambah realtif rendah. Dengan demikian adalah wajar jika kemampuan pengembangan usaha mereka juga rendah, serta tingkat kesejahteraan juga memprihatinkan.
            Kondisi ekonomi para pengusaha kecil tersebut juga mengilhami ide pemberdayaan ekonomi rakyat, tetapi upaya pemberdayaan ekonomi rakyat tidaklah dapat diraih dalam waktu singkat, karena menyangkut kualitas sumberdaya manusia, penguasaan teknologi, pemilikan modal, akses terhadap pasar,akses terhadap faktor produksi, informasi, serta rendahnya kualitas manajemen.
Berbagai Upaya untuk mengaitkan pemberdayaan ekonomi rakyat dengan pembangun usaha besar telah dilakukan antara lain melalui program kemitraan usaha. Tetapi keberhasilannya tidak nyata, bahkan ada kecenderungan terjadinya ekploitasi terhadap pengusaha kecil tersebut oleh usaha besar. Dampak negatif dari bentuk kemitraan tersebut sangat mungkin terjadi, karena kemitraan yang dibentuk antara dua pelaku ekonomi dengan posisi tawar yang tidak berimbang, level playing field yang sangat berbeda. Satu-satunya solusi yang kemudian dikembangkan untuk memberdayakan usaha kecil sebagai unsur utama ekonomi rakyat adalah melalui pengembangan kelembagaan usaha koperasi. 
Kendala dan Reposisi Koperasi
Sejalan dengan ide pengembangan eksistensi koperasi, dalam kondisi krisis ekonomi, gIobaIisasi/liberalisasi ekonomi dunia sekarang ini, upaya untuk mendorong dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pembangunan koperasi adalah sangat penting. Keikutsertaan warga masyarakat sebagai pelaku ekonomi tersebut diperlukan dalam upaya mencapai sasaran-sasaran makro pembangunan ekonomi yaitu penyembuhan ekonomi nasional. Hal tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa pembangunan koperasi tidak dapat lagi hanya disandarkan pada pendanaan dari pemerintah, terlebih lagi dengan kondisi keuangan pemerintah sekarang ini yang semakin menyempit karena lebih banyak bersandar pada pinjaman dari luar negeri (terutama IMF).
Jika dari sisi yang satu penyembuhan ekonomi nasional diharapkan dapat dipercepat dengan mengembangkan eksistensi usaha kecil dan koperasi, namun di sisi lain terlihat bahwa kebijaksanaan makro pembangunan ekonomi masih memberikan kesempatan yang lebih besar bagi para pengusaha besar terutama di sektor moneter. Kebijaksanaan moneter khususnya di bidang perkreditan adalah penyebab utama kehancuran sistem ekonomi Indonesia yang harus dibayar bukan saja dari segi materi tetapi juga biaya sosial (social cost)yang sangat besar. Untuk itu mutlak diadakan reformasi total di bidang moneter secara lebih khususnya adalah reformasi kredit (credit reform). Paradigma pembangunan yang menitik beratkan pada pertumbuhan, dengan asumsi akan menciptakan efek menetes ke bawah jelas-jelas sudah gagal total karena yang dihasilkan adalah keserakahan yang melahirkan kesenjangan. Pembangunan pertumbuhan, memang perlu tetapi pencapaian pertumbuhan ini hendaknya melalui pemerataan yang berkeadilan.
Melihat perkembangan akhir-akhir ini jelas tidak tampak adanya reformasi di bidang ekonomi lebih-Iebih di sektor moneter, bahkan kecenderungan yang ada, adalah untuk membangun kembali usaha konglomerat yang hancur dengan cara mengkonsentrasi kemampuan keuangan dengan rekapitulasi bank-bank. Dalam menghadapi situasi seperti ini, alternatif terbaik bagi koperasi dan usaha kecil adalah menghimpun kekuatan sendiri, baik kekuatan ekonomi maupun kekuatan politis, atau baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan ekonomi rakyat, untuk memperkuat posisi tawar (bargaining position) mereka. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mereka harus membangun koperasi, baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan dalam satu kiprah yang simultan, Dengan berkoperasi mereka dapat menghimpun kekuatan kecil-kecil yang ada padanya, untuk digerakan dan diarahkan dalam rangka memperbaiki posisi ekonominya. Dengan menguatnya posisi ekonomi dari mereka, pada gilirannya posisi politisnya pun akan membaik sehingga posisi tawar mereka akan menguat, yang pada gilirannya eksistensinya dalam penentuan kebijaksanaan perekonomian nasional juga akan semakin membaik. Hal tersebut dimungkinkan karena koperasi memiliki peluang yang cukup besar mengingat potensi ekonomi anggota koperasi walaupun kecil-kecil tetapi sangat banyak dan tersebar, sehingga mampu membentuk kekuatan yang cukup besar baik dari aspek produksi, konsumsi maupun jasa-jasa.
Namun pada saat yang sama, pembangunan sistem ekonomi ini juga mengalami suatu kendala yang besar. Permasalahan yang dihadapi dalam membangun sistem ekonomi kerakyatan khususnya koperasi adalah masalah struktural dengan berbagai cirinya. Misalnya saja, masalah kelemahan pengelolaan/manajemen dan kelangkaan akan modal. Kelemahan pengelolaan/ manajemen disebabkan olen tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki masyarakat masih terbatas. Sedangkan kelangkaan akan modal disebabkan oleh kondisi ekonomi masyarakat kita umumnya masih lemah, dan justru dengan berkoperasi mereka bersatu dan berupaya untuk tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan ekonomi yang lebih kuat dan dapat diandalkan.
Permasalahan yang dihadapi koperasi dalam tiga dekade terakhir ini dapat dikemukakan sebagai berikut 
a.      Kelembagaan Koperasi
Sejumlah masalah kelembagaan koperasi yang memerlukan langkah pemecahan di masa mendatang meliputi hal-hal: 1) Kelembagaan koperasi beum sepenuhnya mendukung gerak pengembangan usaha. Hal ini disebabkan adanya kekuatan, struktur dan pendekatan pengembangan kelembagaan yang kurang memadai bagi pengembangan usaha. Mekanismenya belum dapat dikembangkan secara fleksibel untuk mendukung meluas dan mendalamnya kegiatan usaha koperasi. Aspek kelembagaan yang banyak dipermasalahahkan antara lain adalah daerah kerja, model kelembagaan koperasi produksi, koperasi konsumsi dan koperasi jasa, serta pemusatan koperasi. 2) Alat perlengkapan organisasi koperasi belum sepenuhnya berfungsi dengan baik. Hal ini antara lain disebabkan oleh: a) Pengurus dan Badan Pemeriksa (BP) yang terpilih dalam rapat anggota serta pelaksana usaha pada umumnya tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai, sehingga kurang mampu untuk melaksanakan pengelolaan organisasi, manajemen dan usaha dengan baik, serta kurang tepat dalam menanggapi perkembangan nngkungan. b) Mekanisme hubungan dan pembagian kerja antara Pengurus, Badan Pemeriksa dan Pelaksana Usaha (Manajer) masih belum berjalan dengan serasi dan saling mengisi. c) Penyelenggaraan RAT koperasi masih belum dapat dilakukan secara tepat waktu dan dirasakan masih belum sepenuhnya menampung kesamaan kebutuhan, keinginan dan kepentingan dari pada anggotanya. 
b.     UsahaKoperasi
Masalah-masalah yang dihadapi dalam pengembangan usaha koperasi tidak dapat dipisahkan dari masalah kelembagaan serta alat kelengkapan organisasi koperasi dan kemampuan para pengelolanya seperti yang diuraikan di atas. Adapun masalah yang berkaitan dengan pengembangan usaha adalah :
1) Dalam pelaksanaan usaha, koperasi masih belum sepenuhnya mampu mengembangkan kegiatan di berbagai sektor perekonomian karena belum memiliki kemampuan memanfaatkan kesempatan usaha yang tersedia.
2) Belum sepenuhnya tercipta jaringan mata rantai tataniaga yang efektif dan efisien, baik dalam pemasaran hasil produksi anggotanya maupun dalam distribusi bahan kebutuhan pokok para anggotanya.
3) Terbatasnya modal yang tersedia khususnya dalam bentuk kredit dengan persyaratan lunak untuk mengembangkan usaha, terutama yang menyangkut kegiatan usaha yang sesuai dengan kebutuhan anggota, di luar kegiatan program pemerintah. Selain itu koperasi masih belum mampu melaksanakan pemupukan modlal sendiri yang mengakibatkan sangat tergantung pada kredit dari bank walaupun biayanya lebih mahal.
4) Keterbatasan jumlah dan jenis sarana usaha yang dimiliki koperasi, dan kemampuan para pengelola koperasi dalam mengelola sarana usaha yang telah dimiliki.
5) Belum terciptanya pola dan bentuk-bentuk kerjasama yang serasi, baik antar koperasi secara horizontal dan vertikal maupun kerjasama antara koperasi dengan BUMN dan Swasta. 
c.      Aspek Lingkungan
Aspek lingkungan yang terdiri dari kondisi ekonomi, politik, sosial dan budaya, tidak dapat dilepaskan dari proses pengembangan koperasi. Di satu pihak kondisi tersebut dapat memberikan kesempatan, di pihak lain dapat menimbulkan hambatan bagi perkembangan koperasi. Adapun kondisi lingkungan yang dapat diidentifikasikan, sebagai berikut
1)    Kemauan politik yang kuat dari amanat GBHN 1999-2004 dalam upaya pengembangan koperasi, kurang diikuti dengan tindakan-tindakan yang konsisten dan konsekuen dari seluruh lapisan struktur birokrasi pemerintah.
2)    Kuran adanya keterpaduan dan konsistensi antara program pengembangan koperasi dengan program pengembangan sub-sektor lain, sehingga program pengembangan sub-sektor koperasi seolah-olah berjalan sendiri, tanpa dukungan dan partisipasi dari program pengembangan sektor lainnya.
3)    Dirasakan adanya praktek dunia usaha yang mengesampingkan semangat usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan gotong-royong.
4)    Masih adanya sebagian besar masyarakat yang belum memahami dan menghayati pentingnya berkoperasi sebagai satu pilihan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
5)    Sikap sebagian besar masyarakat di lingkungan masyarakat yang miskin dirasakan masih sulit untuk diajak berusaha bersama, sehingga di lingkungan semacam itu kehidupan berkoperasi masih sukar dikembangkan.
6)    Sebagai organisasi yang membawa unsur pembaruan, koperasi sering membawa nilai-nilai baru yang kadang-kadang kurang sesuai dengan nilai yang dianut oleh masyarakat yang lemah dan miskin terutama yang berada di pedesaan.
Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan reposisi peran koperasi yang secara mandiri dilakukan oleh koperasi dan pengusaha kecil. Keikutsertaan pemerintah dalam program ini dibatasi hanya sebagai fasilitator dan regulator, melalui suatu mekanisme yang menempatkan koperasi dan usaha kecil sejajar dengan perusahaan-perusahaan milik swasta dan perusahaan milik pemerintah. Strategi tersebut merupakan langkah yang perlu diLempuh berdasarkan pemikiran bahwa dengan program ini memungkinkan  permasalahan yang dihadapi koperasi dapat ditangani sekangus. Dalam hal ini, selain koperasi memiliki kesempatan untuk eksis dalam usaha-usaha yang selama ini seakan "diharamkan" untuk koperasi, seperti dalam pengelolaan hutan dan ekspor/impor. Program ini juga sekaligus juga dapat membuktikan bahwa koperasi dan usaha kecil mampu berperan sebagai kelembagaan yang menopang pemberdayaan ekonomi rakyat dalam sistem ekonomi kerakyatan. 
Pola Reposisi Peran Koperasi
            Keberhasilan koperasi dalam melaksanakan peranannya antara lain sangat ditentukan faktor-faktor sebagai berikut:
a.      Kemampuan menciptakan posisi pasar dan pengawasan harga yang layak antara lain dengan cara: 1) Bertindak bersama dalam menghadapi pasar melalui pemusatan kekuatan dari anggota; 2) Memperpendek jaringan pemasaran; 3) Memiliki alat perlengkapan organisasi yang berfungsi dengan baik seperti pengurus, Rapat Anggota, dan Badan Pemeriksa, serta manajer yang terampil dan berdedikasi; 4) Memiliki kemampuan sebagai suatu unit usaha dalam mengatur jumlah dan kualitas barang-barang yang dipasarkan melalui kegiatan pergudangan, penelitian kualitas yang cermat dan sebagainya.
b.      Kemampuan koperasi untuk menghimpun dan menanamkan kembali modal, dengan cara penumpukan modal anggota;
c.      Penggunaan sarana dan prasarana yang tersedia secara optimal untuk mempertinggi efisiensi.
d.      Terciptanya keterampilan teknis di bidang produksi, pengolahan dan pemasaran yang tidak mungkin dapat dicapai oleh anggota secara sendiri-sendiri.
e.      Pembebanan resiko dari anggota kepada koperasi sebagai satu unit usaha, yang selanjutnya kembali ditanggung secara bersama oleh anggotanya.
f.        Pengaruh dari koperasi terhadap anggota yang berkaitan dengan perubahan sikap dan perilaku yang lebih sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan, diantaranya perubahan teknologi, pasar dan dinamika masyarakat. 
Selanjutnya hubungan dan pola kerjasama koperasi dengan pelaku ekonomi lainnya haruslah serasi. Sifat hubungan tersebut haruslah saling menguntungkan dan tidak menimbulkan ketergantungan koperasi kepada bangun ekonomi yang lain, serta dilandasi oleh pola kerjasama antar koperasi sendiri secara horizontal dan vertikal. Pembangunan kerja sama dengan pelaku ekonomi lainnya diprioritaskan pada pengembangan hubungan dengan pengusaha menengah dan perusahaan besar milik negara.
Dengan kedudukan dan peranan koperasi yang demikian dan sesuai dengan kebijaksanaan program pembangunan koperasi dalam era reformasi yang dititik beratkan pada upaya memandirikan koperasi, reposisi peran koperasi pada hakikatnya ditujukan menyelaraskan peran koperasi, sesuai dengan ide dan prinsip dasarnya. Di samping untuk mengembalikan tujuan pembangunan koperasi, reposisi koperasi diprogramkan untuk mengeliminir permasalahan yang dihadapi koperasi. 
Pelaksanaan Program Reposisi Peran Koperasi
            Untuk mencapai tujuan dan sasaran atas dasar bidang prioritas, maka dalam upaya melakukan reposisi peran koperasi diperlukan perencanaan program yang terarah dan terencana, sehingga diharapkan koperasi akan menjadi lembaga ekonomi yang kuat, dan mampu tumbuh dan kembang dengan kekuatan sendiri. Untuk itu ditetapkan empat pendekatan dasar yaitu:
a.      Proses, karena perkembangan koperasi merupakan rentang perubahahan ke arah kemajuan.
b.      Metode, karena pembangunan koperasi menempuh cara-cara yang terencana dan terpadu diatas disiplin keteraturan dan kesinambungan sehingga dapat mendorong perkembangan koperasi.
c.      Program, karena perkembangan koperasi merupakan paduan dari berbagai kegiatan, berbagai bidang kehidupan yang menyangkut kepentingan, dan kebutuhan masyarakat kecil baik di daerah perkotaan maupun pedesaan;
d.      Gerakan, karena pertumbuhan dan perkembangan koperasi sesungguhnya merupakan suatu gerakan yang bersumber dari cita-cita kemasyarakatan, yang ingin diwujudkan bersama sesuai dengan asas kekeluargaan dan gotong-royong. Ke empat pendekatan tersebut merupakan satu kesatuan pendekatan yang harus diterapkan secara komprehensif sesuai dengan tahap-tahap reposisi peran koperasi. 
Adapun kebijaksanaan tersebut meliputi berbagai aspek, yaitu:
1.      Tersedianya kesempatan usaha yang seluas-luasnya beserta tersedianya bantuan fasilitas permodalan dengan syarat yang memadai, untuk pengadaan sarana produksi, pengolahan dan pemasaran yang dibutuhkan.
2.      Kebijaksanaan dalam rangka pemupukan modal melalui simpanan wajib, yang terpusat dan terpadu, di samping melakukan usaha untuk makin menggalakkan kesadaran menabung dari anggota sendiri. Pemupukan modal merupakan pendukung utama bagi terbentuknya lembaga keuangan yang dimiliki oleh koperasi
3.      Kebijaksanaan pembinaan organisasi dan manajemen koperasi melalui pendidikan dan latihan, serta penyediaan bantuan tenaga manajemen yang terampil dan memiliki motivasi serta idealisms koperasi.
4.      Terjalinnya pola kerjasama antara koperasi dalam satu kesatuan jalinan kelembagaan koperasi yang terpadu dan menyeluruh, serta terkait dalam tata ekonomi nasional bersama-sama dengan usaha swasta dan usaha negara.
5.      Terselenggaranya penelitian, pengkajian dan pengembangan perkoperasian secara lebih mantap dan terarah.
6.      Kebijaksanaan pemantapan kelembagaan pembina. 
Agenda Reposisi
            Beberapa agenda reposisi adalah sebagai berikut:

a.      Reposisi Kelembagaan Koperasi, meliputi:
1)     Bagaimana fleksibilitas kelembagaan koperasi dalam mengantisipasi dinamika perubahan akibat globalisasi
2)     Bagaimana peningkatan partisipasi anggota koperasi
3)     Bagaimana pembinaan dan pengembangan manajemen koperasi berdasarkan pengembangan sistem informasi
4)     Bagaimana memanfaatkan perkembangan informasi teknologi untuk penerangan, penyuluhan, pendidikan dan latihan perkoperasian
5)     Bagaimana pengawasan koperasi dalam era transparasi dan bertanggung gugat
6)     Bagaimana peningkatan peranan DEKOPIN dalam pembinaan koperasi, advokasi
b.     Reposisi Pengembangan Usaha Koperasi, meliputi:
1)     Bagaimana peningkatan dan pengembangan efisiensi dan produktivitas usaha koperasi
2)     Bagaimana peningkatan dan pengembangan kesempatan usaha bagi koperasi dalam era pasar bebas
3)     Bagaimana peningkatan dan pengembangan struktur permodalan
4)     Bagaimana peningkatan dan pengembangan sarana usaha koperasi
5)     Bagaimana peningkatan dan pengembangan kerjasama usaha dalam rangka membangun sistem jaringan usaha yang strategis

c.      Program Penelitian dan Pengembangan Koperasi, meliputi:
1)     Peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan, yang meliputi seluruh aspek pengembangan perkoperasian melalui pendekatan interdisipliner dan lintas sektoral yang terkoordinasi dan terintegrasi.
2)     Pengkajian dan perumusan pengetahuan perkoperasian dalam rangka penyusunan keilmuan koperasi, sebagai bahan pengajaran ilmu koperasi dalam pendidikan formal.
3)     Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan perkoperasian untuk memberikan masukan yang diperlukan bagi penyusunan pola pengembangan koperasi serta persiapan langkah-langkah bagi usaha membangun koperasi.
4)     Mengembangkan berbagai pola dan perangkat pembangunan koperasi baik perangkat lunak maupun perangkat keras, yang meliputi aspek-aspek manajemen personil, permodalan dan perkreditan, produksi serta pemasaran.
5)     Mengkaji proyek rintisan/percontohan dalam rangka memperoleh sistem dan peralatan teknis yang belum dijadikan pola atau sistem operasional.
6)     Mengembangkan pusat dokumentasi ilmiah dan informasi perkoperasian yang didukung oleh sistem dan jaringan informasi yang menyeluruh dan terpadu, guna memonitor dan mengevaluasi berbagai perkembangan pembangunan koperasi serta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya.
7)     Meningkatkan kerjasama koperasi dengan lembaga-lembaga pendidikan, penelitian, pengembangan dan pengkajian baik di lingkungan pemerintah maupun swasta.
8)     Meningkatkan partisipasi para pengelola koperasi di daerah-daerah sebagai unsur penunjang penelitian dan pengembangan koperasi dalam menciptakan keselarasan dan keserasian antara pendekatan atas bawah (top-down approach) dalam pembangunan koperasi. 
Disamping melaksanakan kegiatan-kegiatan diatas, dan dalam upaya reposisi peran koperasi juga perlu dilaksanakan kegiatan tambahan yang merupakan upaya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna sarana dan sistem administrasi koperasi secara terpadu melalui peningkatan profesionalisme, idealisme dan dinamika organisasi dengan memanfaatkan sumber daya lembaga pembina koperasi secara optimal. Upaya ini terutama ditujukan guna mendukung proses konsolidasi Gerakan Koperasi. Dalam rangka memantapkan dan menyempurnakan pendayagunaan sarana tersebut perlu disusun kegiatan sebagai berikut:
  1. Meningkatkan daya guna dan hasil guna pemanfaatan sarana dan prasarana fisik di lingkungan lembaga pembina koperasi, sehingga dapat memperlancar pelaksanaan kegiatan reposisi peran koperasi.
  2. Menyempurnakan dan meningkatkan tatalakasana dan administrasi di lingkungan lembaga pembina koperasi yang menunjang pelaksanaan tugas-tugasnya dalam mendukung pembangunan perkoperasian pada khususnya, melalui penyempurnaan dan peningkatan proses perumusan/ penyusunan kebijaksanaan, rencana, program, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan pelaksanaan gerakan serta kegiatan reposisi peran koperasi.
  3. Memantapkan dan menyempurnakan sistem pengawasan di lingkungan lembaga pembina koperasi, baik pengawasan fungsional internal maupun pengawasan eksternal. Dalam hubungan ini perlu disempurnakan dan dimantapkan lebih lanjut sistem informasi manajemen untuk mendukung pelaksanaan proses monitoring dan evaluasi berbagai program pembinaan perkoperasian secara transparan.
  4. Meningkatkan kerjasama antara gerakan dan lembaga pembina koperasi dalam rangka mewujudkan keterpaduan konsistensi pelaksanaan kebijaksanaan dan program pengembangan koperasi dengan pengembangan sektor lainnya.

Sebagai pedoman dasar dan arah yang jelas bagi pelaksanaan pembangunan koperasi dalam era reformasi, maka di perlukan adanya Konsep Dasar Reposisi Peran Koperasi yang diaplikasikan dalam bentuk ”Pola Dasar Pengembangan Peran Koperasi”. Pola dasar tersebut memuat tujuan, pendekatan, manfaat dan sasaran reposisi peran koperasi. Pelaksanaan konsep dasar reposisi peran koperasi tersebut, memerlukan penjabaran-penjabaran lebih lanjut secara teknis pada setiap tahun dalam bentuk Rencana Operasional Pengembangan Peran Koperasi (ROPPK), agar terjadi kesamaan gerak langkah dalam kegiatan operasional antar koperasi di lapangan. Atas dasar ROPPK, secara operasional tiap-tiap koperasi perlu mempertimbangkan potensi kondisi dan situasi di daerahnya atau sesuai dengan kondisi lokal spesifik. Pedoman dasar dan arah pengembangan koperasi ini baru akan bermanfaat jika dilaksanakan secara konsisten dan bersungguh-sungguh. Di samping itu, partisipasi aktif para pengusaha kecil yang anggota koperasi, juga sangat menentukan keberhasilan pembangunan koperasi. Karena itu upaya-upaya untuk meningkatkan partisipasi mereka perlu dikembangkan secara terus menerus, melalui pembuktian kongkrit manfaat koperasi dan tidak hanya melalui penyuluhan, pendidikan dan pelatihan yang lebih bersifat normatif.

refensi :
GUNADARMA UNIVERSITY