Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng, Kombes Mas Guntur Laope mengatakan, jika terbukti melakukan kesalahan dr Ali Maimun bisa terkena hukuman selama 10 tahun penjara dan membayar denda Rp 1 miliar. Pasal yang disangkakan adalah UU Kesehatan nomor 36 tahun 2009 Pasal 190 ayat 2. ”Di pasal itu tertera pelanggar akan diancam paling lama 10 tahun penjara berikut denda 1 miliar,” ungkapnya. Untuk membuktikan pelanggaran itu, lanjut dia, pihaknya masih terus melakukan penelusuran dengan memeriksa sejumlah saksi baik dari pihak pelapor maupun terlapor. ”Dua saksi sudah kami periksa. Kamis (12/9) terlapor akan kami periksa,” ujarnya.
Kasubdit I Bidang Industri Perdagangan dan Investasi Ditreskrimsus Polda Jateng, AKBP Robertius Budi Wijayanto menambahkan, surat panggilan pemeriksan terhadap dr Ali Maimun telah dilayangkan. ”Senin (3/9) kemarin surat pemanggilan terlapor sudah kami layangkan,” terangnya.
Dia berharap, setelah menerima surat panggilan itu terlapor akan kooporatif. Koordinasi dengan pihak terkait termasuk IDI Jateng juga dilakukan pihaknya. Hal itu untuk menghindari salah persepsi saat menjalankan penyidikan. Disinggung tentang indikasi penyebab kematian korban dan obat yang diberikan terlapor, Budi belum berani memaparkan lebih jauh. ”Sampel obat belum kami terima jadi indikasi-indikasi belum diketahui secara pasti,” ujarnya.
Terkait rencana pembongkaran makam Siti Sundari, pihaknya sudah berkordinasi dengan pihak Dokpol Polda Jateng. Menurut dia, dari keterangan Dokpol pembongkaran makam harus tetap dilaksanakan untuk kebutuhan penyidikan. ”Dari pernyataan pihak Dokpol, keluarga korban sudah setuju dengan pembongkaran makam. Namun kami belum menanyakan langsung,” tandasnya.
Hak Pasien
Sementara itu Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Tengah tidak menemukan pelanggaran etika pelayanan kesehatan dr Ali Maimun dalam kasus Siti Sundari, warga Kenduren RT 03 RW 02, Wedung, Demak. Pemeriksaan etika meliputi 21 pasal atau ketentuan membuktikan penanganan Sundari yang saat itu terkena gangguan cemas berupa pusing dan panas telah sesuai prosedur. Dokter Ali Maimun saat itu memberikan obat analgesik atau pereda kecemasan.
Ketua Biro Hukum, Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Tengah, dr Darwito mengatakan, kesimpulan majelis telah bulat, sehingga penyakit yang diderita Sundari setelah meminum obat adalah Steve Jhonson Sindrome akibat alergi obat. ”Alergi obatnya sudah parah. Itu di luar wewenang dokter Ali Maimun. Bahkan dokter seluruh dunia tidak ada yang tahu,” katanya, Rabu (4/9).
Pemeriksaan etika, lanjutnya meliputi rekam medis, surat izin praktik kedokteran, dan prosedur peresepan obat. Di lokasi praktik dokter Ali Maimun, katanya, ada juga apotek dan apotekernya sehingga saat obat diberikan kepada pasien sesuai dengan keluhannya.
”Setelah ini nanti ada sidang Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, tetapi prediksinya sesuai dengan hasil pemeriksaan etika,” ujarnya.
”Setelah ini nanti ada sidang Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, tetapi prediksinya sesuai dengan hasil pemeriksaan etika,” ujarnya.
Sidang tersebut sebagai proses penegakan etika profesi kedokteran terhadap aduan pasien. Ketua Ikatan Pemerhati Hukum Kesehatan Indonesia, dr Susanto Gunawan, mengatakan aduan pasien terhadap pelayanan dokter telah dijamin di dalam Undang Undang Kesehatan.
”Di dalam Pasal 58 sudah jelas, pasien bisa menuntut ganti rugi bila terbukti dokter melakukan kesalahan atau kelalaian,” ujar dr Susanto.
”Di dalam Pasal 58 sudah jelas, pasien bisa menuntut ganti rugi bila terbukti dokter melakukan kesalahan atau kelalaian,” ujar dr Susanto.
Terkait dua pihak yang berwenang menangani laporan keluarga Siti Sundari, dr Susanto menyarankan untuk mediasi kembali antara kepolisian, IDI, dokter Ali Maimun dan keluarga koban. Sebab menurutnya, lebih tepat aduan pasien dilaporkan ke IDI. ”Masih ada yang belum tahu memang jika aduan pasien disampaikan ke IDI, sehingga dilaporkan ke polisi. Polisi juga benar telah menindaklanjuti laporan masyarakat,” ujarnya.
Namun proses pembuktian kesalahan dokter memakan waktu lama hingga sampai ke pengadilan. Pakar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Dr Eko Soponyono menyatakan dalam kasus di Demak, terdapat beberapa aturan yang bisa dicermati menyusul rencana penegak hukum memanggil dokter terlapor. Bermacam aturan yang bisa menjadi landasan Polisi mulai dari KUHP dan UU Praktek Kedokteran 29/2004. ”KUHP misalnya mengatur tentang hukuman bagi seseorang karena kelalaiannya menghilangkan nyawa orang lain. Pasal 359 dan 360 mengatur tentang itu,” jelas Eko.
Namun dia tidak bisa memastikan apakah dokter terlapor akan terbukti melakukan kelalaian. Aparat penegak hukum yang paling berhak menentukan setelah memanggil atau memeriksa terlapor. Hal lain yang menjadi rujukan adalah UU Praktik Kedokteran. UU ini mengatur penuh tentang praktek kedokteran di Indonesia. Aturan ini memiliki delik yang harus dipatuhi para dokter saat menjalani profesi.
Menurutnya, kasus mirip di Demak pernah menyeruak dari Pati puluhan tahun lalu. Kasus itu, bahkan menasional karena penanganannya sampai MA dan menjadi tonggak bagi hukum kesehatan di tanah air. Dokter Setyaningrum, dibebaskan dari tuntutan karena tidak terbukti melakukan malpraktik. Dia dinilai sudah menjalani berbagai prosedur bahkan diluar batas kemampuannya untuk menyelamatkan jiwa pasien. (K44,H74-72)
Sumber :
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/09/05/235784
Tidak ada komentar:
Posting Komentar