Senin, 09 Januari 2012

REPOSISI KOPERASI INDONESIA

Dr. Ir. Muslimin Nasution, APU

”Sebuah Perekonomian yang benar-benar global dinyatakan telah muncul, atau sedang dalam proses kemunculan, dimana perekonomian nasional yang khusus, dan karena itu, strategi-strategi domestik perekonomian nasonal semakin tidak relevan”

Paul Hirst & Graham Thompson[1]

Pendahuluan

Tak dapat disangkal, bahwa masyarakat di berbagai belahan dunia, atau negara sebagai representasi institusional secara keseluruhan, telah memasuki suatu medan globalisasi yang dicirikan salah satunya melalui perdagangan bebas. Berbagai kesepakatan, jalinan kerjasama, perjanjian multilateral, berbagai kelompok negara maju dan berkembang, penyatuan mata uang, dan lain-lain, merupakan suatu wujud dari lintas batas geografis-regional menuju pada kepentingan ekonomi internasional yang tak terhindarkan. Sistem-sistem perekonomian tertutup atau strategi domestik perekonomian nasional menurut Hirst dan Thompson- bisa jadi memang tidak relevan, setidaknya jika dilihat bahwa tidak ada satu negara pun di dunia saat ini berdiri sendiri dan tidak terimbas oleh alur perubahan serta perkembangan situasi ekonomi kontemporer.[2]

Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Sebuah babak baru menuju perdagangan bebas, baik dalam lingkup regional di kawasan ASEAN melalui AFTA maupun kesepakatan yang dijalin melalui G-8 atau G-15, ke semuanya ini merupakan bukti tentang jaring keterlibatan antar negara di wilayah internasional tengah berlangsung, dengan berbagai pengaruh maupun dampak yang diakibatkannya. Konsekuensi logis dari keterbukaan dan kebebasan serta kerjasama internasional itu akan terasa di masing-masing negara. Pada tahun 2020 nanti, tatkala dunia memasuki era perdagangan bebas secara total, Indonesia tengah menyelesaikan masa Pembangunan Jangka Panjang Ke tiga (PJP III tho 1993 s/d 2018). Di harapkan pada saat itu Indonesia benar-benar telah berada dalam kondisi siap siaga menghadapi globalisasi total tersebut.

Semangat utama dari globalisasi ini adalah interaksi secara global (global interactions), Robertson melihat bahwa kondisi ini ditandai dengan "menyusutnya aspek sosial dari masyarakat" (the social shrinking of society) menuju pada "tumbuhnya kesadaran tentang dunia sebagai totalitas yang tunggal" (a growing awareness of the world as one totality) [3]. Dan dalam prakteknya, globalisasi itu membangun dan bergerak pada tiga pilar besar: ekonomi, politik, kebudayaan.

Khusus di bidang ekonomi, globalisasi menampilkan bentuknya dengan prinsip perdagangan bebas dan perdagangan di tingkat dunia (world trade). Dengan demikian globalisasi ekonomi ini mengarah pada suatu aktifitas yang muItinasional. Ungkapan lain untuk proses ini dinamakan juga sebagai "universalisasi sistem ekonomi" (the universalization of the economic system), Berbagai institusi-institusi perekonomian dunia akan "dipaksa" untuk mengikuti pergulatan di dalamnya, termasuk dalam hal ini tentu saja berlaku bagi badan-badan usaha koperasi yang banyak digeluti oleh usaha ekonomi rakyat di Indonesia[4].

Bagi Indonesia, jelaslah bahwa implikasi dari perdagangan bebas ini adalah pentingnya upaya untuk membuka ketertutupan usaha, peluang, dan kesempatan, terutama bagi usaha koperasi yang menjadi salah satu pola usaha ekonomi rakyat. Hal ini menjadi sangat penting karena produk yang dihasilkan dari Indonesia harus berkompetisi secara terbuka tidak hanya di pasar dalam negeri, melainkan juga di luar negeri/pasar internasional.

Salah satu contoh kasus ini dapat dilihat dalam produk-produk pertanian. Pada waktu yang bersamaan, negara-ncgara produsen lain hasil-hasil pertanian juga mengalami hal yang sama dalam memasuki perdagangan bebas kelas dunia ini, sehingga persaingan produk-produk pertanian di pasar intemasional akan semakin tinggi. Persaingan tidak hanya dalam harga dan kualitas akan tetapi juga bentuk, rasa, dan kemasan, serta kontinuitas pasokan. Dalam persaingan bebas, harga produk ditentukan oleh pasar internasional. Oleh karena itu, persaingan harus ditingkatkan melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi. Sejalan dengan itu, nilai tambah yang dihasilkan produk-produk pertanian perlu ditingkatkan melalui industri pengolahan dengan pendekatan sistem agrobisnis dan agroindustri.

Fakta dan Kondisi dalam SDM

Sekilas, jika melihat tentang krisis moneter yang bcrlanjut sampai sekarang, koperasi dan usaha kecil membuktikan dirinya sebagai pelaku ekonomi yang tangguh dan unggul, misalnya dalam menanggulangi malsalah pengangguran dan kemiskinan. Terdapat harapan bahwa pengembangan peran terhadap kedua pelaku ekonomi tersebut dapat menjadi tumpuan pemasok devisa negara yang sangat penting artinya dalam proses pemulihan ekonomi nasional (Nationa! Economics Recovery). Namun hal itu menuntut pengembangan kualitas SDM, mulai dari tingkat perencanaan, teknis, sampai dengan tingkat pelaksanaan di lapangan, penguasaan teknologi, dan dukungan sarana, prasarana, serta lembaga pendukung.

Dengan berpijak pada landasan pembangunan nasional: Pancasila, UUD 1945, dan GBHN 1993 (untuk PJP 11 1993 s/d 2018), maka peningkatan kualitas SDM, merupakan faktor yang sangat menentukan dalam menghadapi persaingan global yang tidak dapat lagi bertumpu pada keunggulan komparatif, tetapi lebih menuntut keunggulan kompetitif. Untuk itu diperlukan SDM yang mempunyai kemampuan untuk menguasai teknologi, SDM yang mampu menciptakan kegiatan produksi dengan tingkat produktivitas yang lebih tinggi, mampu menciptakan inovasi dan perubahan-perubahan yang diperlukan serta mampu mengelola sumber daya dan sumber dana yang efisien dan produktif dalam proses produksi, diiringi dengan peningkatan kesejahteraan.

Perubahan perekonomian dunia yang salah satunya ditandai dengan perkembangan informasi teknologi telah mendorong paradigma ekonomi dari Supply Driven Economic menjadi Knowledge Driven Economic. Selanjutnya perkembangan tersebut melahirkan paradigma baru yang dikenal sebagai ”competitiveness paradigm" antar bangsa-bangsa. Dalam era ini, mau tidak mau, Indonesia harus mengkaji ulang tentang masalah pengembangan SDM yang menjadi dilema besar.

Mengenai jumlah SDM dan angkatan kerja di Indonesia, setidaknya terdapat tiga hal yang menarik, yaitu pertama, jumlah masyarakat petani di Indonesia secara absolut dan juga relatif masih sangat besar. perdua, struktur tenaga kerja yang bergerak di sektor pertanian ini didominasi oleh banyaknya buruh tani dan pekerja keluarga, dan ketiga, hanya 0,2 persen tenaga kerja pertanian yang berpendidikan tinggi. Ditinjau dari tingkat pendidikan, kesehatan, dan penguasaan iptek dengan menggunakan pengukuran Human Development Index (HDI) tahun 1996 versi UNDP Indonesia masih masuk pada peringkat 102 dengan nilai HDI 0,641; Philipina mencapai peringkat 95 dengan nilai HDI sebesar 0,832. Vietnam masih berada di bawah peringkat Indonesia dengan nilai

0,540 dan menduduki peringkat 121. Beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Thailand dan Malaysia menduduki peringkat 52 dan 53, dengan nilai HDI masing-masing adalah 0,832 dal. 0,826. Dari perbandingan nilai-nilai tersebut dapat dikatahui bahwa Indonesia perlu mempersiapkan SDMnya secara lebih mantap dan mendasar bagi pembangunan mendatang.

Rendahnya kuallitas SDM di pedesaan terutama disebabkan rata-rata tingkat pendapatan di pedesaan masih rendah. Jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan telah berhasil ditekan yaitu dari sekitar 60 juta orang atau 70 % dari jumlah penduduk pada tahun 1970, menjadi 25,9 juta atau sekitar 13,7 % dari jumlah penduduk pada tahun 1993. Dilain pihak, masih terdapat 20.633 desa yang digolongkan tertinggal, yang seharusnya menjadi garapan badan usaha koperasi pertanian.

Terbatasnya kesempatan kerja di pedesaan meninibulkan urbanisasi tenaga kerja, terutama tenaga kerja terampil. Dengan demikian rata-rata kualitas tenaga kerja di pedesaan tetap rendah, menyebabkan pertumbuhan produktivitas dan efisielisi badan usaha koperasi di sektor pertanian berjalan lambat.

Langkah-langkah dasar yang diperlukan

Menengok ulang era Orde Baru, sangat tampak bahwa pemanfaatan potensi sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM) lebih diorientasikan pada peningkatan produksi melalui eksploitasi kedua sumberdaya esensial tersebut secara berlebillan. Pendekatan pembangunan waktu itu memang cenderung hanya ditujukan untuk mengejar pertumbuhan melalui peningkatkan produksi dan pendapatan nasional (GNP) dalam waktu cepat, tanpa memperhatikan kondisi ekonomi dan sosial dalam masyarakat serta kelestaran SDA dan lingkungan. Indikator keberhasilan pembangunan hanya dilihat dari kemampuan untuk menekan inflasi dan meningkatkan pertumbuhan. Keadaaan yang demikian antara lain terlihat dengan dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang cenderung memanjakan usaha besar, yang secara langsung maupun tidak langsung telah mendorong terjadinya krisis ekonomi serta kemiskinan dan kesenjangan. Ketidakberdayaan usaha besar untuk eksis dalam perekonomian global baru dirasakan setelah terjadinya krisis moneter yang melumpuhkan hampir semua usaha besar. Kondisi seperti ini sudah lama diramalkan akan terjadi, seperti yang dikemukakan oleh Yoshihara Kunio, sebagai fehomena "kapitalisme semu" atau erzats capitalism[5].

Sebaliknya, pengembangan perekonomian yang mengarah pada globalisasi dalam bentuk liberalisasi perdagangan kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Lebih ironis lagi regulasi perbankan yang ditujukan untuk memandirikan perusahaan-perusahaan besar swasta, malah mendorong perusahaan-perusahaan tersebut untuk membangun bank-bank baru yang ditujukan untuk mendapatkan lebih banyak lagi pinjaman bersubsidi dari pemerintah, serta memobilisasi dana murah dari masyarakat. Dengan kata lain kebjjaksanaan pemerintah pada waktu itu (sejak awal era tahun 1980-an) memang hanya sebatas move politics yang banyak memiliki kelemahan bila dikaji dari aspek ekonominya. Dalam kondisi yang demikian usaha kecil dan koperasi dengan segala keterbatasannya menjadi sulit berkembang.

Dalam bidang SDM, Indonesia juga mengalami persoalan yang tidak kalah peliknya, khusus di bidang ketenagakerjaan. Sesungguhnya bukan merupakan tanggung-jawab satu instansi saja melainkan merupakan tanggung-jawab bersama antara lembaga pendidikan dan pelatihan, termasuk perguruan tinggi sebagai penyedia tenaga kerja, masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan, dan pemerintah sebagai katalisator pembangunan sekaligus pemakai jasa pendidikan.

Dalam kaitan ini, terdapat dua langkah penting yang perlu dipertimbangkan. Langkah-langkah tersebut diantaranya adalah:

1. Pembangunan sistem pendidikan dan pelatihan yang diusahakan memenuhi kebutuhan pasar dan dunia usaha dalam kerangka pengembangan ekonomi kerakyatan. Dalam hal ini kalangan perguruan tinggi seyogyanya memantau orientasi pembangunan masa depan dan juga fleksibel/luwes dalam menyesuaikan antara silabus pendidikan dengan kebutuhan koperasi, dunia usaha serta industri. Dalam masa industriallisasi mendatang, dorongan peningkatan penyerapan tenaga kerja terutama pada industri menengah dan kecil. Karena pada kedua kelompok inilah, proporsi tenaga kerja diharapkan dapat terserap sekitar 70-80% dari tambahan angkatan kerja baru. Dengan demikian, penekanan pembangunan mendatang sejalan dengan dorongan gerakan pengentasan kemiskinan nasional[6].

2. Pembangunan sistem informasi hams terkait dengan semua sarana pengembangan ekonomi kerakyatan, termasuk dalam komoditi dan angkatan kerja. Penciptaan sistem ekonomi sangat terkait dengan informasi maupun sektor-sektor lain seperti komoditi, angkatan dan lapangan kerja maupun distribusinya. Berkaitan dengan hal tersebut, diharapkan aspek ketenagakerjaan juga memiliki peta-peta tentang kebutuhan lapangan kerja menurut spesifikasi lulusan, jenjang dan jenis pendidikan. Informasi distribusi semacam ini akan memudahkan para pengambil kebijaksanaan untuk memantau kondisi kebutuhan SDM yang ada di berbagai tempat di Indonesia.

Pasar Bebas , Otonomisasi dan Perekonomian Rakyat

Gejala pasar bebas sebagai bagian dari kecenderungan perekonomian dunia mulai terlihat pada 1980-an. Perubahan tatanan perekonomian dunia tersebul ditandai dengan terjadinya pengaturan preferensi perdagangan baik tarif

maupun non tarif oleh negara-negara maju. Perubahan mendasar ini dilatarbelakangi oleh semakin tingginya proteksionisme di negara-negara berkembang. Pengaturan preferensi perdagangan secara langsung mempengaruhi pembangunan di banyak negara berkembang.

Untuk menangkal dampak negatif dari perubahan pereknomian tersebut memang sudah dikeluarkan berbagai kebijaksahaan yang seharusnya sudah terkait dengan tujuan pembangunan untuk kemakmuran rakyat secara keseluruhan. Berbeda dengan strategi pembangunan perekonomian pada dasawarsa sebelumnya yang menekankan pada pembangunan ke sisi penawaran (supply side strategic), yang ditandai dengan pembangunan industri substitusi import, dengan adanya globalisasi seharusnya orientasi pembangunan diarahkan pada sisi permintaaan (demand side strategies). Namun berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkan nampaknya juga belum mampu mendominankan sisi permintaan yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan sebagian besar warga masyarakat. Hal yang demikian memaksa pemerintah untuk kembali memilih sistem perekonomian yang mampu mentransformasikan rakyat menjadi lebih sejahtera, melalui pengembangan konsep sistem ekonomi kerakyatan.

Dikeluarkannya kebijaksanaan makro tersebut tidak dapat diharapkan berhasil dalam waktu singkat. Operasionalisasi dari kebijaksanaan tersebut juga menimbulkan masalah baru, sebagai akibat dari perencanaan ekonomi nasional masa lalu serta lumpuhnya sektor riil. Keadaan ini menyebabkan perekonomian nasional menjadi terpuruk. Dengan adanya masalah yang paling mendasar tersebut, maka dalam era reformasi pembangunan sistem ekonomi kerakyatan menjadi prioritas utama pembangunan.

Sistem ekonomi kerakyatan mencakup semua kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh dan untuk kepentingan orang banyak, baik dalam kedudukannya sebagai produsen, pedagang maupun konsumen. Berdasarkan batasan tersebut jelaslah bahwa sistem ekonomi kerakyatan mempunyai dimensi yang luas dan mencakup jumlah penduduk yang sangat besar.

Secara kualititatif gambaran kondisi ekonomi kerakyatan pra reformasi dapat terlihat dari data Departemen Koperasi daln PPK tahun 1997. Data tersebut menginfomasikaln bahwa jumlah usaha kecil dari semua sektor ekonomi mencapi 39.2 juta unit dengan jumlah manusia di dalamnya mencapai lebih kurang 176 juta orang dan volume usahanya mencapai 49 triliun rupiah atau kurang dari 5 juta per unit per tahun.

Usaha kecil merupakan usaha ekonomi rakyat yang tersebar tidak merata, dan terbanyak adalah di sektor pertanian yaitu mencapai 31,1 juta unit, kemudian diikuti oleh sektor informal 4,2 juta unit. Diketahui bahwa usaha tani di Indonesia produktifitasnya relatif rendah, demikian juga nilai tukarnya sangat memprihatinkan. Kondisi tersebut semakin diperparah lagi dengan sangat kecilnya rata-rata pemilikan lahan, sehingga sebagian besar usaha tani tidak mencapai skala ekonomi yang menguntungkan. Demikian juga dengan sektor informal, sektor ini merupakan sektor peralihan yang produktifitasnya paling rendah di antara semua sektor perekonomian. Dari sini terlihat bahwa selama era orde baru, usaha kecil hanya berpeluang berkembang di sektor-sektor yang memiliki nilai tambah realtif rendah. Dengan demikian adalah wajar jika kemampuan pengembangan usaha mereka juga rendah, serta tingkat kesejahteraan juga memprihatinkan.

Kondisi ekonomi para pengusaha kecil tersebut juga mengilhami ide pemberdayaan ekonomi rakyat, tetapi upaya pemberdayaan ekonomi rakyat tidaklah dapat diraih dalam waktu singkat, karena menyangkut kualitas sumberdaya manusia, penguasaan teknologi, pemilikan modal, akses terhadap pasar,akses terhadap faktor produksi, informasi, serta rendahnya kualitas manajemen.

Berbagai Upaya untuk mengaitkan pemberdayaan ekonomi rakyat dengan pembangun usaha besar telah dilakukan antara lain melalui program kemitraan usaha. Tetapi keberhasilannya tidak nyata, bahkan ada kecenderungan terjadinya ekploitasi terhadap pengusaha kecil tersebut oleh usaha besar. Dampak negatif dari bentuk kemitraan tersebut sangat mungkin terjadi, karena kemitraan yang dibentuk antara dua pelaku ekonomi dengan posisi tawar yang tidak berimbang, level playing field yang sangat berbeda. Satu-satunya solusi yang kemudian dikembangkan untuk memberdayakan usaha kecil sebagai unsur utama ekonomi rakyat adalah melalui pengembangan kelembagaan usaha koperasi.

Kendala dan Reposisi Koperasi

Sejalan dengan ide pengembangan eksistensi koperasi, dalam kondisi krisis ekonomi, gIobaIisasi/liberalisasi ekonomi dunia sekarang ini, upaya untuk mendorong dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pembangunan koperasi adalah sangat penting. Keikutsertaan warga masyarakat sebagai pelaku ekonomi tersebut diperlukan dalam upaya mencapai sasaran-sasaran makro pembangunan ekonomi yaitu penyembuhan ekonomi nasional. Hal tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa pembangunan koperasi tidak dapat lagi hanya disandarkan pada pendanaan dari pemerintah, terlebih lagi dengan kondisi keuangan pemerintah sekarang ini yang semakin menyempit karena lebih banyak bersandar pada pinjaman dari luar negeri (terutama IMF).

Jika dari sisi yang satu penyembuhan ekonomi nasional diharapkan dapat dipercepat dengan mengembangkan eksistensi usaha kecil dan koperasi, namun di sisi lain terlihat bahwa kebijaksanaan makro pembangunan ekonomi masih memberikan kesempatan yang lebih besar bagi para pengusaha besar terutama di sektor moneter. Kebijaksanaan moneter khususnya di bidang perkreditan adalah penyebab utama kehancuran sistem ekonomi Indonesia yang harus dibayar bukan saja dari segi materi tetapi juga biaya sosial (social cost) yang sangat besar. Untuk itu mutlak diadakan reformasi total di bidang moneter secara lebih khususnya adalah reformasi kredit (credit reform). Paradigma pembangunan yang menitik beratkan pada pertumbuhan, dengan asumsi akan menciptakan efek menetes ke bawah jelas-jelas sudah gagal total karena yang dihasilkan adalah keserakahan yang melahirkan kesenjangan. Pembangunan pertumbuhan, memang perlu tetapi pencapaian pertumbuhan ini hendaknya melalui pemerataan yang berkeadilan.

Melihat perkembangan akhir-akhir ini jelas tidak tampak adanya reformasi di bidang ekonomi lebih-Iebih di sektor moneter, bahkan kecenderungan yang ada, adalah untuk membangun kembali usaha konglomerat yang hancur dengan cara mengkonsentrasi kemampuan keuangan dengan rekapitulasi bank-bank. Dalam menghadapi situasi seperti ini, alternatif terbaik bagi koperasi dan usaha kecil adalah menghimpun kekuatan sendiri, baik kekuatan ekonomi maupun kekuatan politis, atau baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan ekonomi rakyat, untuk memperkuat posisi tawar (bargaining position) mereka. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mereka harus membangun koperasi, baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan dalam satu kiprah yang simultan, Dengan berkoperasi mereka dapat menghimpun kekuatan kecil-kecil yang ada padanya, untuk digerakan dan diarahkan dalam rangka memperbaiki posisi ekonominya. Dengan menguatnya posisi ekonomi dari mereka, pada gilirannya posisi politisnya pun akan membaik sehingga posisi tawar mereka akan menguat, yang pada gilirannya eksistensinya dalam penentuan kebijaksanaan perekonomian nasional juga akan semakin membaik. Hal tersebut dimungkinkan karena koperasi memiliki peluang yang cukup besar mengingat potensi ekonomi anggota koperasi walaupun kecil-kecil tetapi sangat banyak dan tersebar, sehingga mampu membentuk kekuatan yang cukup besar baik dari aspek produksi, konsumsi maupun jasa-jasa.

Namun pada saat yang sama, pembangunan sistem ekonomi ini juga mengalami suatu kendala yang besar. Permasalahan yang dihadapi dalam membangun sistem ekonomi kerakyatan khususnya koperasi adalah masalah struktural dengan berbagai cirinya. Misalnya saja, masalah kelemahan pengelolaan/manajemen dan kelangkaan akan modal. Kelemahan pengelolaan/ manajemen disebabkan olen tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki masyarakat masih terbatas. Sedangkan kelangkaan akan modal disebabkan oleh kondisi ekonomi masyarakat kita umumnya masih lemah, dan justru dengan berkoperasi mereka bersatu dan berupaya untuk tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan ekonomi yang lebih kuat dan dapat diandalkan.

Permasalahan yang dihadapi koperasi dalam tiga dekade terakhir ini dapat dikemukakan sebagai berikut

a. Kelembagaan Koperasi

Sejumlah masalah kelembagaan koperasi yang memerlukan langkah pemecahan di masa mendatang meliputi hal-hal: 1) Kelembagaan koperasi beum sepenuhnya mendukung gerak pengembangan usaha. Hal ini disebabkan adanya kekuatan, struktur dan pendekatan pengembangan kelembagaan yang kurang memadai bagi pengembangan usaha. Mekanismenya belum dapat dikembangkan secara fleksibel untuk mendukung meluas dan mendalamnya kegiatan usaha koperasi. Aspek kelembagaan yang banyak dipermasalahahkan antara lain adalah daerah kerja, model kelembagaan koperasi produksi, koperasi konsumsi dan koperasi jasa, serta pemusatan koperasi. 2) Alat perlengkapan organisasi koperasi belum sepenuhnya berfungsi dengan baik. Hal ini antara lain disebabkan oleh: a) Pengurus dan Badan Pemeriksa (BP) yang terpilih dalam rapat anggota serta pelaksana usaha pada umumnya tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai, sehingga kurang mampu untuk melaksanakan pengelolaan organisasi, manajemen dan usaha dengan baik, serta kurang tepat dalam menanggapi perkembangan nngkungan. b) Mekanisme hubungan dan pembagian kerja antara Pengurus, Badan Pemeriksa dan Pelaksana Usaha (Manajer) masih belum berjalan dengan serasi dan saling mengisi. c) Penyelenggaraan RAT koperasi masih belum dapat dilakukan secara tepat waktu dan dirasakan masih belum sepenuhnya menampung kesamaan kebutuhan, keinginan dan kepentingan dari pada anggotanya.

b. UsahaKoperasi

Masalah-masalah yang dihadapi dalam pengembangan usaha koperasi tidak dapat dipisahkan dari masalah kelembagaan serta alat kelengkapan organisasi koperasi dan kemampuan para pengelolanya seperti yang diuraikan di atas. Adapun masalah yang berkaitan dengan pengembangan usaha adalah :

1) Dalam pelaksanaan usaha, koperasi masih belum sepenuhnya mampu mengembangkan kegiatan di berbagai sektor perekonomian karena belum memiliki kemampuan memanfaatkan kesempatan usaha yang tersedia.

2) Belum sepenuhnya tercipta jaringan mata rantai tataniaga yang efektif dan efisien, baik dalam pemasaran hasil produksi anggotanya maupun dalam distribusi bahan kebutuhan pokok para anggotanya.

3) Terbatasnya modal yang tersedia khususnya dalam bentuk kredit dengan persyaratan lunak untuk mengembangkan usaha, terutama yang menyangkut kegiatan usaha yang sesuai dengan kebutuhan anggota, di luar kegiatan program pemerintah. Selain itu koperasi masih belum mampu melaksanakan pemupukan modlal sendiri yang mengakibatkan sangat tergantung pada kredit dari bank walaupun biayanya lebih mahal.

4) Keterbatasan jumlah dan jenis sarana usaha yang dimiliki koperasi, dan kemampuan para pengelola koperasi dalam mengelola sarana usaha yang telah dimiliki.

5) Belum terciptanya pola dan bentuk-bentuk kerjasama yang serasi, baik antar koperasi secara horizontal dan vertikal maupun kerjasama antara koperasi dengan BUMN dan Swasta.

c. Aspek Lingkungan

Aspek lingkungan yang terdiri dari kondisi ekonomi, politik, sosial dan budaya, tidak dapat dilepaskan dari proses pengembangan koperasi. Di satu pihak kondisi tersebut dapat memberikan kesempatan, di pihak lain dapat menimbulkan hambatan bagi perkembangan koperasi. Adapun kondisi lingkungan yang dapat diidentifikasikan, sebagai berikut

1) Kemauan politik yang kuat dari amanat GBHN 1999-2004 dalam upaya pengembangan koperasi, kurang diikuti dengan tindakan-tindakan yang konsisten dan konsekuen dari seluruh lapisan struktur birokrasi pemerintah.

2) Kuran adanya keterpaduan dan konsistensi antara program pengembangan koperasi dengan program pengembangan sub-sektor lain, sehingga program pengembangan sub-sektor koperasi seolah-olah berjalan sendiri, tanpa dukungan dan partisipasi dari program pengembangan sektor lainnya.

3) Dirasakan adanya praktek dunia usaha yang mengesampingkan semangat usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan gotong-royong.

4) Masih adanya sebagian besar masyarakat yang belum memahami dan menghayati pentingnya berkoperasi sebagai satu pilihan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.

5) Sikap sebagian besar masyarakat di lingkungan masyarakat yang miskin dirasakan masih sulit untuk diajak berusaha bersama, sehingga di lingkungan semacam itu kehidupan berkoperasi masih sukar dikembangkan.

6) Sebagai organisasi yang membawa unsur pembaruan, koperasi sering membawa nilai-nilai baru yang kadang-kadang kurang sesuai dengan nilai yang dianut oleh masyarakat yang lemah dan miskin terutama yang berada di pedesaan.

Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan reposisi peran koperasi yang secara mandiri dilakukan oleh koperasi dan pengusaha kecil. Keikutsertaan pemerintah dalam program ini dibatasi hanya sebagai fasilitator dan regulator, melalui suatu mekanisme yang menempatkan koperasi dan usaha kecil sejajar dengan perusahaan-perusahaan milik swasta dan perusahaan milik pemerintah. Strategi tersebut merupakan langkah yang perlu diLempuh berdasarkan pemikiran bahwa dengan program ini memungkinkan permasalahan yang dihadapi koperasi dapat ditangani sekangus. Dalam hal ini, selain koperasi memiliki kesempatan untuk eksis dalam usaha-usaha yang selama ini seakan "diharamkan" untuk koperasi, seperti dalam pengelolaan hutan dan ekspor/impor. Program ini juga sekaligus juga dapat membuktikan bahwa koperasi dan usaha kecil mampu berperan sebagai kelembagaan yang menopang pemberdayaan ekonomi rakyat dalam sistem ekonomi kerakyatan.

Pola Reposisi Peran Koperasi

Keberhasilan koperasi dalam melaksanakan peranannya antara lain sangat ditentukan faktor-faktor sebagai berikut:

a. Kemampuan menciptakan posisi pasar dan pengawasan harga yang layak antara lain dengan cara: 1) Bertindak bersama dalam menghadapi pasar melalui pemusatan kekuatan dari anggota; 2) Memperpendek jaringan pemasaran; 3) Memiliki alat perlengkapan organisasi yang berfungsi dengan baik seperti pengurus, Rapat Anggota, dan Badan Pemeriksa, serta manajer yang terampil dan berdedikasi; 4) Memiliki kemampuan sebagai suatu unit usaha dalam mengatur jumlah dan kualitas barang-barang yang dipasarkan melalui kegiatan pergudangan, penelitian kualitas yang cermat dan sebagainya.

b. Kemampuan koperasi untuk menghimpun dan menanamkan kembali modal, dengan cara penumpukan modal anggota;

c. Penggunaan sarana dan prasarana yang tersedia secara optimal untuk mempertinggi efisiensi.

d. Terciptanya keterampilan teknis di bidang produksi, pengolahan dan pemasaran yang tidak mungkin dapat dicapai oleh anggota secara sendiri-sendiri.

e. Pembebanan resiko dari anggota kepada koperasi sebagai satu unit usaha, yang selanjutnya kembali ditanggung secara bersama oleh anggotanya.

f. Pengaruh dari koperasi terhadap anggota yang berkaitan dengan perubahan sikap dan perilaku yang lebih sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan, diantaranya perubahan teknologi, pasar dan dinamika masyarakat.

Selanjutnya hubungan dan pola kerjasama koperasi dengan pelaku ekonomi lainnya haruslah serasi. Sifat hubungan tersebut haruslah saling menguntungkan dan tidak menimbulkan ketergantungan koperasi kepada bangun ekonomi yang lain, serta dilandasi oleh pola kerjasama antar koperasi sendiri secara horizontal dan vertikal. Pembangunan kerja sama dengan pelaku ekonomi lainnya diprioritaskan pada pengembangan hubungan dengan pengusaha menengah dan perusahaan besar milik negara.

Dengan kedudukan dan peranan koperasi yang demikian dan sesuai dengan kebijaksanaan program pembangunan koperasi dalam era reformasi yang dititik beratkan pada upaya memandirikan koperasi, reposisi peran koperasi pada hakikatnya ditujukan menyelaraskan peran koperasi, sesuai dengan ide dan prinsip dasarnya. Di samping untuk mengembalikan tujuan pembangunan koperasi, reposisi koperasi diprogramkan untuk mengeliminir permasalahan yang dihadapi koperasi.

Pelaksanaan Program Reposisi Peran Koperasi

Untuk mencapai tujuan dan sasaran atas dasar bidang prioritas, maka dalam upaya melakukan reposisi peran koperasi diperlukan perencanaan program yang terarah dan terencana, sehingga diharapkan koperasi akan menjadi lembaga ekonomi yang kuat, dan mampu tumbuh dan kembang dengan kekuatan sendiri. Untuk itu ditetapkan empat pendekatan dasar yaitu:

a. Proses, karena perkembangan koperasi merupakan rentang perubahahan ke arah kemajuan.

b. Metode, karena pembangunan koperasi menempuh cara-cara yang terencana dan terpadu diatas disiplin keteraturan dan kesinambungan sehingga dapat mendorong perkembangan koperasi.

c. Program, karena perkembangan koperasi merupakan paduan dari berbagai kegiatan, berbagai bidang kehidupan yang menyangkut kepentingan, dan kebutuhan masyarakat kecil baik di daerah perkotaan maupun pedesaan;

d. Gerakan, karena pertumbuhan dan perkembangan koperasi sesungguhnya merupakan suatu gerakan yang bersumber dari cita-cita kemasyarakatan, yang ingin diwujudkan bersama sesuai dengan asas kekeluargaan dan gotong-royong. Ke empat pendekatan tersebut merupakan satu kesatuan pendekatan yang harus diterapkan secara komprehensif sesuai dengan tahap-tahap reposisi peran koperasi.

Adapun kebijaksanaan tersebut meliputi berbagai aspek, yaitu:

1. Tersedianya kesempatan usaha yang seluas-luasnya beserta tersedianya bantuan fasilitas permodalan dengan syarat yang memadai, untuk pengadaan sarana produksi, pengolahan dan pemasaran yang dibutuhkan.

2. Kebijaksanaan dalam rangka pemupukan modal melalui simpanan wajib, yang terpusat dan terpadu, di samping melakukan usaha untuk makin menggalakkan kesadaran menabung dari anggota sendiri. Pemupukan modal merupakan pendukung utama bagi terbentuknya lembaga keuangan yang dimiliki oleh koperasi

3. Kebijaksanaan pembinaan organisasi dan manajemen koperasi melalui pendidikan dan latihan, serta penyediaan bantuan tenaga manajemen yang terampil dan memiliki motivasi serta idealisms koperasi.

4. Terjalinnya pola kerjasama antara koperasi dalam satu kesatuan jalinan kelembagaan koperasi yang terpadu dan menyeluruh, serta terkait dalam tata ekonomi nasional bersama-sama dengan usaha swasta dan usaha negara.

5. Terselenggaranya penelitian, pengkajian dan pengembangan perkoperasian secara lebih mantap dan terarah.

6. Kebijaksanaan pemantapan kelembagaan pembina.

Agenda Reposisi

Beberapa agenda reposisi adalah sebagai berikut:



a. Reposisi Kelembagaan Koperasi, meliputi:

1) Bagaimana fleksibilitas kelembagaan koperasi dalam mengantisipasi dinamika perubahan akibat globalisasi

2) Bagaimana peningkatan partisipasi anggota koperasi

3) Bagaimana pembinaan dan pengembangan manajemen koperasi berdasarkan pengembangan sistem informasi

4) Bagaimana memanfaatkan perkembangan informasi teknologi untuk penerangan, penyuluhan, pendidikan dan latihan perkoperasian

5) Bagaimana pengawasan koperasi dalam era transparasi dan bertanggung gugat

6) Bagaimana peningkatan peranan DEKOPIN dalam pembinaan koperasi, advokasi

b. Reposisi Pengembangan Usaha Koperasi, meliputi:

1) Bagaimana peningkatan dan pengembangan efisiensi dan produktivitas usaha koperasi

2) Bagaimana peningkatan dan pengembangan kesempatan usaha bagi koperasi dalam era pasar bebas

3) Bagaimana peningkatan dan pengembangan struktur permodalan

4) Bagaimana peningkatan dan pengembangan sarana usaha koperasi

5) Bagaimana peningkatan dan pengembangan kerjasama usaha dalam rangka membangun sistem jaringan usaha yang strategis



c. Program Penelitian dan Pengembangan Koperasi, meliputi:

1) Peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan, yang meliputi seluruh aspek pengembangan perkoperasian melalui pendekatan interdisipliner dan lintas sektoral yang terkoordinasi dan terintegrasi.

2) Pengkajian dan perumusan pengetahuan perkoperasian dalam rangka penyusunan keilmuan koperasi, sebagai bahan pengajaran ilmu koperasi dalam pendidikan formal.

3) Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan perkoperasian untuk memberikan masukan yang diperlukan bagi penyusunan pola pengembangan koperasi serta persiapan langkah-langkah bagi usaha membangun koperasi.

4) Mengembangkan berbagai pola dan perangkat pembangunan koperasi baik perangkat lunak maupun perangkat keras, yang meliputi aspek-aspek manajemen personil, permodalan dan perkreditan, produksi serta pemasaran.

5) Mengkaji proyek rintisan/percontohan dalam rangka memperoleh sistem dan peralatan teknis yang belum dijadikan pola atau sistem operasional.

6) Mengembangkan pusat dokumentasi ilmiah dan informasi perkoperasian yang didukung oleh sistem dan jaringan informasi yang menyeluruh dan terpadu, guna memonitor dan mengevaluasi berbagai perkembangan pembangunan koperasi serta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya.

7) Meningkatkan kerjasama koperasi dengan lembaga-lembaga pendidikan, penelitian, pengembangan dan pengkajian baik di lingkungan pemerintah maupun swasta.

8) Meningkatkan partisipasi para pengelola koperasi di daerah-daerah sebagai unsur penunjang penelitian dan pengembangan koperasi dalam menciptakan keselarasan dan keserasian antara pendekatan atas bawah (top-down approach) dalam pembangunan koperasi.

Disamping melaksanakan kegiatan-kegiatan diatas, dan dalam upaya reposisi peran koperasi juga perlu dilaksanakan kegiatan tambahan yang merupakan upaya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna sarana dan sistem administrasi koperasi secara terpadu melalui peningkatan profesionalisme, idealisme dan dinamika organisasi dengan memanfaatkan sumber daya lembaga pembina koperasi secara optimal. Upaya ini terutama ditujukan guna mendukung proses konsolidasi Gerakan Koperasi. Dalam rangka memantapkan dan menyempurnakan pendayagunaan sarana tersebut perlu disusun kegiatan sebagai berikut:

Meningkatkan daya guna dan hasil guna pemanfaatan sarana dan prasarana fisik di lingkungan lembaga pembina koperasi, sehingga dapat memperlancar pelaksanaan kegiatan reposisi peran koperasi.
Menyempurnakan dan meningkatkan tatalakasana dan administrasi di lingkungan lembaga pembina koperasi yang menunjang pelaksanaan tugas-tugasnya dalam mendukung pembangunan perkoperasian pada khususnya, melalui penyempurnaan dan peningkatan proses perumusan/ penyusunan kebijaksanaan, rencana, program, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan pelaksanaan gerakan serta kegiatan reposisi peran koperasi.
Memantapkan dan menyempurnakan sistem pengawasan di lingkungan lembaga pembina koperasi, baik pengawasan fungsional internal maupun pengawasan eksternal. Dalam hubungan ini perlu disempurnakan dan dimantapkan lebih lanjut sistem informasi manajemen untuk mendukung pelaksanaan proses monitoring dan evaluasi berbagai program pembinaan perkoperasian secara transparan.
Meningkatkan kerjasama antara gerakan dan lembaga pembina koperasi dalam rangka mewujudkan keterpaduan konsistensi pelaksanaan kebijaksanaan dan program pengembangan koperasi dengan pengembangan sektor lainnya.


Sebagai pedoman dasar dan arah yang jelas bagi pelaksanaan pembangunan koperasi dalam era reformasi, maka di perlukan adanya Konsep Dasar Reposisi Peran Koperasi yang diaplikasikan dalam bentuk ”Pola Dasar Pengembangan Peran Koperasi”. Pola dasar tersebut memuat tujuan, pendekatan, manfaat dan sasaran reposisi peran koperasi. Pelaksanaan konsep dasar reposisi peran koperasi tersebut, memerlukan penjabaran-penjabaran lebih lanjut secara teknis pada setiap tahun dalam bentuk Rencana Operasional Pengembangan Peran Koperasi (ROPPK), agar terjadi kesamaan gerak langkah dalam kegiatan operasional antar koperasi di lapangan. Atas dasar ROPPK, secara operasional tiap-tiap koperasi perlu mempertimbangkan potensi kondisi dan situasi di daerahnya atau sesuai dengan kondisi lokal spesifik. Pedoman dasar dan arah pengembangan koperasi ini baru akan bermanfaat jika dilaksanakan secara konsisten dan bersungguh-sungguh. Di samping itu, partisipasi aktif para pengusaha kecil yang anggota koperasi, juga sangat menentukan keberhasilan pembangunan koperasi. Karena itu upaya-upaya untuk meningkatkan partisipasi mereka perlu dikembangkan secara terus menerus, melalui pembuktian kongkrit manfaat koperasi dan tidak hanya melalui penyuluhan, pendidikan dan pelatihan yang lebih bersifat normatif.


http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/reposisi%20koperasi.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GUNADARMA UNIVERSITY