Selasa, 10 Januari 2012

harapan koperasi

Koperasi merupakan kunci utama dalam upaya mengentaskan anggota masyarakat kita dari kemiskinan. Dengan tugas funsionalkoperasi seperti itu, diharapkan akan lebih efisien apabila fungsinya diarahkan untuk tugas pokok memobilisasikan sumberdaya dan potensi pertumbuhan yang ada, tanpa harus mengabaikan fungsinya dalam mengembangkan tugas stabilitas dan pemerataan. Sedangkan BUMN, sebagai satu wadah pelaku ekonomi yang dimiliki oleh pemerintah, mempunyai kelebihan potensi yaitu lebih efisien dalam tugas pokoknya melaksanakan stabilitas, sekaligus berfungsi
merintis pertumbuhan dan pemerataan.
Apabila kita dapat mengikuti pemikiran para pakar seperti diuraikan di atas, maka akan lebih memperkuat alasan bahwa untuk menghadapi tantangan-tantangan di masa mendatang, masingmasing wadah pelaku ekonomi seharusnya tidak dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri-sendiri. Ketiga wadah pelaku ekonomi tadi justru harus berkembang dan saling terkait satu sama lain secara
integratif. Tanpa keterkaitan integratif seperti itu, perekonominan nasional kita tidak akan mencapai produktivitas dan efisiensi nasional yang tinggi. Di samping itu kita akan selalu menghadapi munculnya kesenjangan antara tingkat pertumbuhan dan tingkat pemerataan yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat stabilitas nasional.
Harapan saya tetang perkoperasian di Indonesia :
-berharap koperasi di indonesia semakin mengutamakan kesejahteraan perekonomian anggotannya. karena apabila anggota didalam koperasi sudah terpenuhi kesejahteraan ekonominya maka akan ikut membantudalam kemajuan ekonomi di indonesia.
-koperasi harus dibedakan dengan yang namanya bisnis, agar kesejahteraan anggota dapat terwujud
-semaoga kedepannya koperasi bisa berkembang di daerah perkotaan ( kota metro politan ), karna sampai saat ini kebanyakan koperasi yang berkembang pesat ialah di daerah pedesaan.

Senin, 09 Januari 2012

REPOSISI KOPERASI INDONESIA

Dr. Ir. Muslimin Nasution, APU

”Sebuah Perekonomian yang benar-benar global dinyatakan telah muncul, atau sedang dalam proses kemunculan, dimana perekonomian nasional yang khusus, dan karena itu, strategi-strategi domestik perekonomian nasonal semakin tidak relevan”

Paul Hirst & Graham Thompson[1]

Pendahuluan

Tak dapat disangkal, bahwa masyarakat di berbagai belahan dunia, atau negara sebagai representasi institusional secara keseluruhan, telah memasuki suatu medan globalisasi yang dicirikan salah satunya melalui perdagangan bebas. Berbagai kesepakatan, jalinan kerjasama, perjanjian multilateral, berbagai kelompok negara maju dan berkembang, penyatuan mata uang, dan lain-lain, merupakan suatu wujud dari lintas batas geografis-regional menuju pada kepentingan ekonomi internasional yang tak terhindarkan. Sistem-sistem perekonomian tertutup atau strategi domestik perekonomian nasional menurut Hirst dan Thompson- bisa jadi memang tidak relevan, setidaknya jika dilihat bahwa tidak ada satu negara pun di dunia saat ini berdiri sendiri dan tidak terimbas oleh alur perubahan serta perkembangan situasi ekonomi kontemporer.[2]

Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Sebuah babak baru menuju perdagangan bebas, baik dalam lingkup regional di kawasan ASEAN melalui AFTA maupun kesepakatan yang dijalin melalui G-8 atau G-15, ke semuanya ini merupakan bukti tentang jaring keterlibatan antar negara di wilayah internasional tengah berlangsung, dengan berbagai pengaruh maupun dampak yang diakibatkannya. Konsekuensi logis dari keterbukaan dan kebebasan serta kerjasama internasional itu akan terasa di masing-masing negara. Pada tahun 2020 nanti, tatkala dunia memasuki era perdagangan bebas secara total, Indonesia tengah menyelesaikan masa Pembangunan Jangka Panjang Ke tiga (PJP III tho 1993 s/d 2018). Di harapkan pada saat itu Indonesia benar-benar telah berada dalam kondisi siap siaga menghadapi globalisasi total tersebut.

Semangat utama dari globalisasi ini adalah interaksi secara global (global interactions), Robertson melihat bahwa kondisi ini ditandai dengan "menyusutnya aspek sosial dari masyarakat" (the social shrinking of society) menuju pada "tumbuhnya kesadaran tentang dunia sebagai totalitas yang tunggal" (a growing awareness of the world as one totality) [3]. Dan dalam prakteknya, globalisasi itu membangun dan bergerak pada tiga pilar besar: ekonomi, politik, kebudayaan.

Khusus di bidang ekonomi, globalisasi menampilkan bentuknya dengan prinsip perdagangan bebas dan perdagangan di tingkat dunia (world trade). Dengan demikian globalisasi ekonomi ini mengarah pada suatu aktifitas yang muItinasional. Ungkapan lain untuk proses ini dinamakan juga sebagai "universalisasi sistem ekonomi" (the universalization of the economic system), Berbagai institusi-institusi perekonomian dunia akan "dipaksa" untuk mengikuti pergulatan di dalamnya, termasuk dalam hal ini tentu saja berlaku bagi badan-badan usaha koperasi yang banyak digeluti oleh usaha ekonomi rakyat di Indonesia[4].

Bagi Indonesia, jelaslah bahwa implikasi dari perdagangan bebas ini adalah pentingnya upaya untuk membuka ketertutupan usaha, peluang, dan kesempatan, terutama bagi usaha koperasi yang menjadi salah satu pola usaha ekonomi rakyat. Hal ini menjadi sangat penting karena produk yang dihasilkan dari Indonesia harus berkompetisi secara terbuka tidak hanya di pasar dalam negeri, melainkan juga di luar negeri/pasar internasional.

Salah satu contoh kasus ini dapat dilihat dalam produk-produk pertanian. Pada waktu yang bersamaan, negara-ncgara produsen lain hasil-hasil pertanian juga mengalami hal yang sama dalam memasuki perdagangan bebas kelas dunia ini, sehingga persaingan produk-produk pertanian di pasar intemasional akan semakin tinggi. Persaingan tidak hanya dalam harga dan kualitas akan tetapi juga bentuk, rasa, dan kemasan, serta kontinuitas pasokan. Dalam persaingan bebas, harga produk ditentukan oleh pasar internasional. Oleh karena itu, persaingan harus ditingkatkan melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi. Sejalan dengan itu, nilai tambah yang dihasilkan produk-produk pertanian perlu ditingkatkan melalui industri pengolahan dengan pendekatan sistem agrobisnis dan agroindustri.

Fakta dan Kondisi dalam SDM

Sekilas, jika melihat tentang krisis moneter yang bcrlanjut sampai sekarang, koperasi dan usaha kecil membuktikan dirinya sebagai pelaku ekonomi yang tangguh dan unggul, misalnya dalam menanggulangi malsalah pengangguran dan kemiskinan. Terdapat harapan bahwa pengembangan peran terhadap kedua pelaku ekonomi tersebut dapat menjadi tumpuan pemasok devisa negara yang sangat penting artinya dalam proses pemulihan ekonomi nasional (Nationa! Economics Recovery). Namun hal itu menuntut pengembangan kualitas SDM, mulai dari tingkat perencanaan, teknis, sampai dengan tingkat pelaksanaan di lapangan, penguasaan teknologi, dan dukungan sarana, prasarana, serta lembaga pendukung.

Dengan berpijak pada landasan pembangunan nasional: Pancasila, UUD 1945, dan GBHN 1993 (untuk PJP 11 1993 s/d 2018), maka peningkatan kualitas SDM, merupakan faktor yang sangat menentukan dalam menghadapi persaingan global yang tidak dapat lagi bertumpu pada keunggulan komparatif, tetapi lebih menuntut keunggulan kompetitif. Untuk itu diperlukan SDM yang mempunyai kemampuan untuk menguasai teknologi, SDM yang mampu menciptakan kegiatan produksi dengan tingkat produktivitas yang lebih tinggi, mampu menciptakan inovasi dan perubahan-perubahan yang diperlukan serta mampu mengelola sumber daya dan sumber dana yang efisien dan produktif dalam proses produksi, diiringi dengan peningkatan kesejahteraan.

Perubahan perekonomian dunia yang salah satunya ditandai dengan perkembangan informasi teknologi telah mendorong paradigma ekonomi dari Supply Driven Economic menjadi Knowledge Driven Economic. Selanjutnya perkembangan tersebut melahirkan paradigma baru yang dikenal sebagai ”competitiveness paradigm" antar bangsa-bangsa. Dalam era ini, mau tidak mau, Indonesia harus mengkaji ulang tentang masalah pengembangan SDM yang menjadi dilema besar.

Mengenai jumlah SDM dan angkatan kerja di Indonesia, setidaknya terdapat tiga hal yang menarik, yaitu pertama, jumlah masyarakat petani di Indonesia secara absolut dan juga relatif masih sangat besar. perdua, struktur tenaga kerja yang bergerak di sektor pertanian ini didominasi oleh banyaknya buruh tani dan pekerja keluarga, dan ketiga, hanya 0,2 persen tenaga kerja pertanian yang berpendidikan tinggi. Ditinjau dari tingkat pendidikan, kesehatan, dan penguasaan iptek dengan menggunakan pengukuran Human Development Index (HDI) tahun 1996 versi UNDP Indonesia masih masuk pada peringkat 102 dengan nilai HDI 0,641; Philipina mencapai peringkat 95 dengan nilai HDI sebesar 0,832. Vietnam masih berada di bawah peringkat Indonesia dengan nilai

0,540 dan menduduki peringkat 121. Beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Thailand dan Malaysia menduduki peringkat 52 dan 53, dengan nilai HDI masing-masing adalah 0,832 dal. 0,826. Dari perbandingan nilai-nilai tersebut dapat dikatahui bahwa Indonesia perlu mempersiapkan SDMnya secara lebih mantap dan mendasar bagi pembangunan mendatang.

Rendahnya kuallitas SDM di pedesaan terutama disebabkan rata-rata tingkat pendapatan di pedesaan masih rendah. Jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan telah berhasil ditekan yaitu dari sekitar 60 juta orang atau 70 % dari jumlah penduduk pada tahun 1970, menjadi 25,9 juta atau sekitar 13,7 % dari jumlah penduduk pada tahun 1993. Dilain pihak, masih terdapat 20.633 desa yang digolongkan tertinggal, yang seharusnya menjadi garapan badan usaha koperasi pertanian.

Terbatasnya kesempatan kerja di pedesaan meninibulkan urbanisasi tenaga kerja, terutama tenaga kerja terampil. Dengan demikian rata-rata kualitas tenaga kerja di pedesaan tetap rendah, menyebabkan pertumbuhan produktivitas dan efisielisi badan usaha koperasi di sektor pertanian berjalan lambat.

Langkah-langkah dasar yang diperlukan

Menengok ulang era Orde Baru, sangat tampak bahwa pemanfaatan potensi sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM) lebih diorientasikan pada peningkatan produksi melalui eksploitasi kedua sumberdaya esensial tersebut secara berlebillan. Pendekatan pembangunan waktu itu memang cenderung hanya ditujukan untuk mengejar pertumbuhan melalui peningkatkan produksi dan pendapatan nasional (GNP) dalam waktu cepat, tanpa memperhatikan kondisi ekonomi dan sosial dalam masyarakat serta kelestaran SDA dan lingkungan. Indikator keberhasilan pembangunan hanya dilihat dari kemampuan untuk menekan inflasi dan meningkatkan pertumbuhan. Keadaaan yang demikian antara lain terlihat dengan dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang cenderung memanjakan usaha besar, yang secara langsung maupun tidak langsung telah mendorong terjadinya krisis ekonomi serta kemiskinan dan kesenjangan. Ketidakberdayaan usaha besar untuk eksis dalam perekonomian global baru dirasakan setelah terjadinya krisis moneter yang melumpuhkan hampir semua usaha besar. Kondisi seperti ini sudah lama diramalkan akan terjadi, seperti yang dikemukakan oleh Yoshihara Kunio, sebagai fehomena "kapitalisme semu" atau erzats capitalism[5].

Sebaliknya, pengembangan perekonomian yang mengarah pada globalisasi dalam bentuk liberalisasi perdagangan kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Lebih ironis lagi regulasi perbankan yang ditujukan untuk memandirikan perusahaan-perusahaan besar swasta, malah mendorong perusahaan-perusahaan tersebut untuk membangun bank-bank baru yang ditujukan untuk mendapatkan lebih banyak lagi pinjaman bersubsidi dari pemerintah, serta memobilisasi dana murah dari masyarakat. Dengan kata lain kebjjaksanaan pemerintah pada waktu itu (sejak awal era tahun 1980-an) memang hanya sebatas move politics yang banyak memiliki kelemahan bila dikaji dari aspek ekonominya. Dalam kondisi yang demikian usaha kecil dan koperasi dengan segala keterbatasannya menjadi sulit berkembang.

Dalam bidang SDM, Indonesia juga mengalami persoalan yang tidak kalah peliknya, khusus di bidang ketenagakerjaan. Sesungguhnya bukan merupakan tanggung-jawab satu instansi saja melainkan merupakan tanggung-jawab bersama antara lembaga pendidikan dan pelatihan, termasuk perguruan tinggi sebagai penyedia tenaga kerja, masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan, dan pemerintah sebagai katalisator pembangunan sekaligus pemakai jasa pendidikan.

Dalam kaitan ini, terdapat dua langkah penting yang perlu dipertimbangkan. Langkah-langkah tersebut diantaranya adalah:

1. Pembangunan sistem pendidikan dan pelatihan yang diusahakan memenuhi kebutuhan pasar dan dunia usaha dalam kerangka pengembangan ekonomi kerakyatan. Dalam hal ini kalangan perguruan tinggi seyogyanya memantau orientasi pembangunan masa depan dan juga fleksibel/luwes dalam menyesuaikan antara silabus pendidikan dengan kebutuhan koperasi, dunia usaha serta industri. Dalam masa industriallisasi mendatang, dorongan peningkatan penyerapan tenaga kerja terutama pada industri menengah dan kecil. Karena pada kedua kelompok inilah, proporsi tenaga kerja diharapkan dapat terserap sekitar 70-80% dari tambahan angkatan kerja baru. Dengan demikian, penekanan pembangunan mendatang sejalan dengan dorongan gerakan pengentasan kemiskinan nasional[6].

2. Pembangunan sistem informasi hams terkait dengan semua sarana pengembangan ekonomi kerakyatan, termasuk dalam komoditi dan angkatan kerja. Penciptaan sistem ekonomi sangat terkait dengan informasi maupun sektor-sektor lain seperti komoditi, angkatan dan lapangan kerja maupun distribusinya. Berkaitan dengan hal tersebut, diharapkan aspek ketenagakerjaan juga memiliki peta-peta tentang kebutuhan lapangan kerja menurut spesifikasi lulusan, jenjang dan jenis pendidikan. Informasi distribusi semacam ini akan memudahkan para pengambil kebijaksanaan untuk memantau kondisi kebutuhan SDM yang ada di berbagai tempat di Indonesia.

Pasar Bebas , Otonomisasi dan Perekonomian Rakyat

Gejala pasar bebas sebagai bagian dari kecenderungan perekonomian dunia mulai terlihat pada 1980-an. Perubahan tatanan perekonomian dunia tersebul ditandai dengan terjadinya pengaturan preferensi perdagangan baik tarif

maupun non tarif oleh negara-negara maju. Perubahan mendasar ini dilatarbelakangi oleh semakin tingginya proteksionisme di negara-negara berkembang. Pengaturan preferensi perdagangan secara langsung mempengaruhi pembangunan di banyak negara berkembang.

Untuk menangkal dampak negatif dari perubahan pereknomian tersebut memang sudah dikeluarkan berbagai kebijaksahaan yang seharusnya sudah terkait dengan tujuan pembangunan untuk kemakmuran rakyat secara keseluruhan. Berbeda dengan strategi pembangunan perekonomian pada dasawarsa sebelumnya yang menekankan pada pembangunan ke sisi penawaran (supply side strategic), yang ditandai dengan pembangunan industri substitusi import, dengan adanya globalisasi seharusnya orientasi pembangunan diarahkan pada sisi permintaaan (demand side strategies). Namun berbagai kebijaksanaan yang dikeluarkan nampaknya juga belum mampu mendominankan sisi permintaan yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan sebagian besar warga masyarakat. Hal yang demikian memaksa pemerintah untuk kembali memilih sistem perekonomian yang mampu mentransformasikan rakyat menjadi lebih sejahtera, melalui pengembangan konsep sistem ekonomi kerakyatan.

Dikeluarkannya kebijaksanaan makro tersebut tidak dapat diharapkan berhasil dalam waktu singkat. Operasionalisasi dari kebijaksanaan tersebut juga menimbulkan masalah baru, sebagai akibat dari perencanaan ekonomi nasional masa lalu serta lumpuhnya sektor riil. Keadaan ini menyebabkan perekonomian nasional menjadi terpuruk. Dengan adanya masalah yang paling mendasar tersebut, maka dalam era reformasi pembangunan sistem ekonomi kerakyatan menjadi prioritas utama pembangunan.

Sistem ekonomi kerakyatan mencakup semua kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh dan untuk kepentingan orang banyak, baik dalam kedudukannya sebagai produsen, pedagang maupun konsumen. Berdasarkan batasan tersebut jelaslah bahwa sistem ekonomi kerakyatan mempunyai dimensi yang luas dan mencakup jumlah penduduk yang sangat besar.

Secara kualititatif gambaran kondisi ekonomi kerakyatan pra reformasi dapat terlihat dari data Departemen Koperasi daln PPK tahun 1997. Data tersebut menginfomasikaln bahwa jumlah usaha kecil dari semua sektor ekonomi mencapi 39.2 juta unit dengan jumlah manusia di dalamnya mencapai lebih kurang 176 juta orang dan volume usahanya mencapai 49 triliun rupiah atau kurang dari 5 juta per unit per tahun.

Usaha kecil merupakan usaha ekonomi rakyat yang tersebar tidak merata, dan terbanyak adalah di sektor pertanian yaitu mencapai 31,1 juta unit, kemudian diikuti oleh sektor informal 4,2 juta unit. Diketahui bahwa usaha tani di Indonesia produktifitasnya relatif rendah, demikian juga nilai tukarnya sangat memprihatinkan. Kondisi tersebut semakin diperparah lagi dengan sangat kecilnya rata-rata pemilikan lahan, sehingga sebagian besar usaha tani tidak mencapai skala ekonomi yang menguntungkan. Demikian juga dengan sektor informal, sektor ini merupakan sektor peralihan yang produktifitasnya paling rendah di antara semua sektor perekonomian. Dari sini terlihat bahwa selama era orde baru, usaha kecil hanya berpeluang berkembang di sektor-sektor yang memiliki nilai tambah realtif rendah. Dengan demikian adalah wajar jika kemampuan pengembangan usaha mereka juga rendah, serta tingkat kesejahteraan juga memprihatinkan.

Kondisi ekonomi para pengusaha kecil tersebut juga mengilhami ide pemberdayaan ekonomi rakyat, tetapi upaya pemberdayaan ekonomi rakyat tidaklah dapat diraih dalam waktu singkat, karena menyangkut kualitas sumberdaya manusia, penguasaan teknologi, pemilikan modal, akses terhadap pasar,akses terhadap faktor produksi, informasi, serta rendahnya kualitas manajemen.

Berbagai Upaya untuk mengaitkan pemberdayaan ekonomi rakyat dengan pembangun usaha besar telah dilakukan antara lain melalui program kemitraan usaha. Tetapi keberhasilannya tidak nyata, bahkan ada kecenderungan terjadinya ekploitasi terhadap pengusaha kecil tersebut oleh usaha besar. Dampak negatif dari bentuk kemitraan tersebut sangat mungkin terjadi, karena kemitraan yang dibentuk antara dua pelaku ekonomi dengan posisi tawar yang tidak berimbang, level playing field yang sangat berbeda. Satu-satunya solusi yang kemudian dikembangkan untuk memberdayakan usaha kecil sebagai unsur utama ekonomi rakyat adalah melalui pengembangan kelembagaan usaha koperasi.

Kendala dan Reposisi Koperasi

Sejalan dengan ide pengembangan eksistensi koperasi, dalam kondisi krisis ekonomi, gIobaIisasi/liberalisasi ekonomi dunia sekarang ini, upaya untuk mendorong dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pembangunan koperasi adalah sangat penting. Keikutsertaan warga masyarakat sebagai pelaku ekonomi tersebut diperlukan dalam upaya mencapai sasaran-sasaran makro pembangunan ekonomi yaitu penyembuhan ekonomi nasional. Hal tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa pembangunan koperasi tidak dapat lagi hanya disandarkan pada pendanaan dari pemerintah, terlebih lagi dengan kondisi keuangan pemerintah sekarang ini yang semakin menyempit karena lebih banyak bersandar pada pinjaman dari luar negeri (terutama IMF).

Jika dari sisi yang satu penyembuhan ekonomi nasional diharapkan dapat dipercepat dengan mengembangkan eksistensi usaha kecil dan koperasi, namun di sisi lain terlihat bahwa kebijaksanaan makro pembangunan ekonomi masih memberikan kesempatan yang lebih besar bagi para pengusaha besar terutama di sektor moneter. Kebijaksanaan moneter khususnya di bidang perkreditan adalah penyebab utama kehancuran sistem ekonomi Indonesia yang harus dibayar bukan saja dari segi materi tetapi juga biaya sosial (social cost) yang sangat besar. Untuk itu mutlak diadakan reformasi total di bidang moneter secara lebih khususnya adalah reformasi kredit (credit reform). Paradigma pembangunan yang menitik beratkan pada pertumbuhan, dengan asumsi akan menciptakan efek menetes ke bawah jelas-jelas sudah gagal total karena yang dihasilkan adalah keserakahan yang melahirkan kesenjangan. Pembangunan pertumbuhan, memang perlu tetapi pencapaian pertumbuhan ini hendaknya melalui pemerataan yang berkeadilan.

Melihat perkembangan akhir-akhir ini jelas tidak tampak adanya reformasi di bidang ekonomi lebih-Iebih di sektor moneter, bahkan kecenderungan yang ada, adalah untuk membangun kembali usaha konglomerat yang hancur dengan cara mengkonsentrasi kemampuan keuangan dengan rekapitulasi bank-bank. Dalam menghadapi situasi seperti ini, alternatif terbaik bagi koperasi dan usaha kecil adalah menghimpun kekuatan sendiri, baik kekuatan ekonomi maupun kekuatan politis, atau baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan ekonomi rakyat, untuk memperkuat posisi tawar (bargaining position) mereka. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mereka harus membangun koperasi, baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan dalam satu kiprah yang simultan, Dengan berkoperasi mereka dapat menghimpun kekuatan kecil-kecil yang ada padanya, untuk digerakan dan diarahkan dalam rangka memperbaiki posisi ekonominya. Dengan menguatnya posisi ekonomi dari mereka, pada gilirannya posisi politisnya pun akan membaik sehingga posisi tawar mereka akan menguat, yang pada gilirannya eksistensinya dalam penentuan kebijaksanaan perekonomian nasional juga akan semakin membaik. Hal tersebut dimungkinkan karena koperasi memiliki peluang yang cukup besar mengingat potensi ekonomi anggota koperasi walaupun kecil-kecil tetapi sangat banyak dan tersebar, sehingga mampu membentuk kekuatan yang cukup besar baik dari aspek produksi, konsumsi maupun jasa-jasa.

Namun pada saat yang sama, pembangunan sistem ekonomi ini juga mengalami suatu kendala yang besar. Permasalahan yang dihadapi dalam membangun sistem ekonomi kerakyatan khususnya koperasi adalah masalah struktural dengan berbagai cirinya. Misalnya saja, masalah kelemahan pengelolaan/manajemen dan kelangkaan akan modal. Kelemahan pengelolaan/ manajemen disebabkan olen tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki masyarakat masih terbatas. Sedangkan kelangkaan akan modal disebabkan oleh kondisi ekonomi masyarakat kita umumnya masih lemah, dan justru dengan berkoperasi mereka bersatu dan berupaya untuk tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan ekonomi yang lebih kuat dan dapat diandalkan.

Permasalahan yang dihadapi koperasi dalam tiga dekade terakhir ini dapat dikemukakan sebagai berikut

a. Kelembagaan Koperasi

Sejumlah masalah kelembagaan koperasi yang memerlukan langkah pemecahan di masa mendatang meliputi hal-hal: 1) Kelembagaan koperasi beum sepenuhnya mendukung gerak pengembangan usaha. Hal ini disebabkan adanya kekuatan, struktur dan pendekatan pengembangan kelembagaan yang kurang memadai bagi pengembangan usaha. Mekanismenya belum dapat dikembangkan secara fleksibel untuk mendukung meluas dan mendalamnya kegiatan usaha koperasi. Aspek kelembagaan yang banyak dipermasalahahkan antara lain adalah daerah kerja, model kelembagaan koperasi produksi, koperasi konsumsi dan koperasi jasa, serta pemusatan koperasi. 2) Alat perlengkapan organisasi koperasi belum sepenuhnya berfungsi dengan baik. Hal ini antara lain disebabkan oleh: a) Pengurus dan Badan Pemeriksa (BP) yang terpilih dalam rapat anggota serta pelaksana usaha pada umumnya tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai, sehingga kurang mampu untuk melaksanakan pengelolaan organisasi, manajemen dan usaha dengan baik, serta kurang tepat dalam menanggapi perkembangan nngkungan. b) Mekanisme hubungan dan pembagian kerja antara Pengurus, Badan Pemeriksa dan Pelaksana Usaha (Manajer) masih belum berjalan dengan serasi dan saling mengisi. c) Penyelenggaraan RAT koperasi masih belum dapat dilakukan secara tepat waktu dan dirasakan masih belum sepenuhnya menampung kesamaan kebutuhan, keinginan dan kepentingan dari pada anggotanya.

b. UsahaKoperasi

Masalah-masalah yang dihadapi dalam pengembangan usaha koperasi tidak dapat dipisahkan dari masalah kelembagaan serta alat kelengkapan organisasi koperasi dan kemampuan para pengelolanya seperti yang diuraikan di atas. Adapun masalah yang berkaitan dengan pengembangan usaha adalah :

1) Dalam pelaksanaan usaha, koperasi masih belum sepenuhnya mampu mengembangkan kegiatan di berbagai sektor perekonomian karena belum memiliki kemampuan memanfaatkan kesempatan usaha yang tersedia.

2) Belum sepenuhnya tercipta jaringan mata rantai tataniaga yang efektif dan efisien, baik dalam pemasaran hasil produksi anggotanya maupun dalam distribusi bahan kebutuhan pokok para anggotanya.

3) Terbatasnya modal yang tersedia khususnya dalam bentuk kredit dengan persyaratan lunak untuk mengembangkan usaha, terutama yang menyangkut kegiatan usaha yang sesuai dengan kebutuhan anggota, di luar kegiatan program pemerintah. Selain itu koperasi masih belum mampu melaksanakan pemupukan modlal sendiri yang mengakibatkan sangat tergantung pada kredit dari bank walaupun biayanya lebih mahal.

4) Keterbatasan jumlah dan jenis sarana usaha yang dimiliki koperasi, dan kemampuan para pengelola koperasi dalam mengelola sarana usaha yang telah dimiliki.

5) Belum terciptanya pola dan bentuk-bentuk kerjasama yang serasi, baik antar koperasi secara horizontal dan vertikal maupun kerjasama antara koperasi dengan BUMN dan Swasta.

c. Aspek Lingkungan

Aspek lingkungan yang terdiri dari kondisi ekonomi, politik, sosial dan budaya, tidak dapat dilepaskan dari proses pengembangan koperasi. Di satu pihak kondisi tersebut dapat memberikan kesempatan, di pihak lain dapat menimbulkan hambatan bagi perkembangan koperasi. Adapun kondisi lingkungan yang dapat diidentifikasikan, sebagai berikut

1) Kemauan politik yang kuat dari amanat GBHN 1999-2004 dalam upaya pengembangan koperasi, kurang diikuti dengan tindakan-tindakan yang konsisten dan konsekuen dari seluruh lapisan struktur birokrasi pemerintah.

2) Kuran adanya keterpaduan dan konsistensi antara program pengembangan koperasi dengan program pengembangan sub-sektor lain, sehingga program pengembangan sub-sektor koperasi seolah-olah berjalan sendiri, tanpa dukungan dan partisipasi dari program pengembangan sektor lainnya.

3) Dirasakan adanya praktek dunia usaha yang mengesampingkan semangat usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan gotong-royong.

4) Masih adanya sebagian besar masyarakat yang belum memahami dan menghayati pentingnya berkoperasi sebagai satu pilihan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.

5) Sikap sebagian besar masyarakat di lingkungan masyarakat yang miskin dirasakan masih sulit untuk diajak berusaha bersama, sehingga di lingkungan semacam itu kehidupan berkoperasi masih sukar dikembangkan.

6) Sebagai organisasi yang membawa unsur pembaruan, koperasi sering membawa nilai-nilai baru yang kadang-kadang kurang sesuai dengan nilai yang dianut oleh masyarakat yang lemah dan miskin terutama yang berada di pedesaan.

Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan reposisi peran koperasi yang secara mandiri dilakukan oleh koperasi dan pengusaha kecil. Keikutsertaan pemerintah dalam program ini dibatasi hanya sebagai fasilitator dan regulator, melalui suatu mekanisme yang menempatkan koperasi dan usaha kecil sejajar dengan perusahaan-perusahaan milik swasta dan perusahaan milik pemerintah. Strategi tersebut merupakan langkah yang perlu diLempuh berdasarkan pemikiran bahwa dengan program ini memungkinkan permasalahan yang dihadapi koperasi dapat ditangani sekangus. Dalam hal ini, selain koperasi memiliki kesempatan untuk eksis dalam usaha-usaha yang selama ini seakan "diharamkan" untuk koperasi, seperti dalam pengelolaan hutan dan ekspor/impor. Program ini juga sekaligus juga dapat membuktikan bahwa koperasi dan usaha kecil mampu berperan sebagai kelembagaan yang menopang pemberdayaan ekonomi rakyat dalam sistem ekonomi kerakyatan.

Pola Reposisi Peran Koperasi

Keberhasilan koperasi dalam melaksanakan peranannya antara lain sangat ditentukan faktor-faktor sebagai berikut:

a. Kemampuan menciptakan posisi pasar dan pengawasan harga yang layak antara lain dengan cara: 1) Bertindak bersama dalam menghadapi pasar melalui pemusatan kekuatan dari anggota; 2) Memperpendek jaringan pemasaran; 3) Memiliki alat perlengkapan organisasi yang berfungsi dengan baik seperti pengurus, Rapat Anggota, dan Badan Pemeriksa, serta manajer yang terampil dan berdedikasi; 4) Memiliki kemampuan sebagai suatu unit usaha dalam mengatur jumlah dan kualitas barang-barang yang dipasarkan melalui kegiatan pergudangan, penelitian kualitas yang cermat dan sebagainya.

b. Kemampuan koperasi untuk menghimpun dan menanamkan kembali modal, dengan cara penumpukan modal anggota;

c. Penggunaan sarana dan prasarana yang tersedia secara optimal untuk mempertinggi efisiensi.

d. Terciptanya keterampilan teknis di bidang produksi, pengolahan dan pemasaran yang tidak mungkin dapat dicapai oleh anggota secara sendiri-sendiri.

e. Pembebanan resiko dari anggota kepada koperasi sebagai satu unit usaha, yang selanjutnya kembali ditanggung secara bersama oleh anggotanya.

f. Pengaruh dari koperasi terhadap anggota yang berkaitan dengan perubahan sikap dan perilaku yang lebih sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan, diantaranya perubahan teknologi, pasar dan dinamika masyarakat.

Selanjutnya hubungan dan pola kerjasama koperasi dengan pelaku ekonomi lainnya haruslah serasi. Sifat hubungan tersebut haruslah saling menguntungkan dan tidak menimbulkan ketergantungan koperasi kepada bangun ekonomi yang lain, serta dilandasi oleh pola kerjasama antar koperasi sendiri secara horizontal dan vertikal. Pembangunan kerja sama dengan pelaku ekonomi lainnya diprioritaskan pada pengembangan hubungan dengan pengusaha menengah dan perusahaan besar milik negara.

Dengan kedudukan dan peranan koperasi yang demikian dan sesuai dengan kebijaksanaan program pembangunan koperasi dalam era reformasi yang dititik beratkan pada upaya memandirikan koperasi, reposisi peran koperasi pada hakikatnya ditujukan menyelaraskan peran koperasi, sesuai dengan ide dan prinsip dasarnya. Di samping untuk mengembalikan tujuan pembangunan koperasi, reposisi koperasi diprogramkan untuk mengeliminir permasalahan yang dihadapi koperasi.

Pelaksanaan Program Reposisi Peran Koperasi

Untuk mencapai tujuan dan sasaran atas dasar bidang prioritas, maka dalam upaya melakukan reposisi peran koperasi diperlukan perencanaan program yang terarah dan terencana, sehingga diharapkan koperasi akan menjadi lembaga ekonomi yang kuat, dan mampu tumbuh dan kembang dengan kekuatan sendiri. Untuk itu ditetapkan empat pendekatan dasar yaitu:

a. Proses, karena perkembangan koperasi merupakan rentang perubahahan ke arah kemajuan.

b. Metode, karena pembangunan koperasi menempuh cara-cara yang terencana dan terpadu diatas disiplin keteraturan dan kesinambungan sehingga dapat mendorong perkembangan koperasi.

c. Program, karena perkembangan koperasi merupakan paduan dari berbagai kegiatan, berbagai bidang kehidupan yang menyangkut kepentingan, dan kebutuhan masyarakat kecil baik di daerah perkotaan maupun pedesaan;

d. Gerakan, karena pertumbuhan dan perkembangan koperasi sesungguhnya merupakan suatu gerakan yang bersumber dari cita-cita kemasyarakatan, yang ingin diwujudkan bersama sesuai dengan asas kekeluargaan dan gotong-royong. Ke empat pendekatan tersebut merupakan satu kesatuan pendekatan yang harus diterapkan secara komprehensif sesuai dengan tahap-tahap reposisi peran koperasi.

Adapun kebijaksanaan tersebut meliputi berbagai aspek, yaitu:

1. Tersedianya kesempatan usaha yang seluas-luasnya beserta tersedianya bantuan fasilitas permodalan dengan syarat yang memadai, untuk pengadaan sarana produksi, pengolahan dan pemasaran yang dibutuhkan.

2. Kebijaksanaan dalam rangka pemupukan modal melalui simpanan wajib, yang terpusat dan terpadu, di samping melakukan usaha untuk makin menggalakkan kesadaran menabung dari anggota sendiri. Pemupukan modal merupakan pendukung utama bagi terbentuknya lembaga keuangan yang dimiliki oleh koperasi

3. Kebijaksanaan pembinaan organisasi dan manajemen koperasi melalui pendidikan dan latihan, serta penyediaan bantuan tenaga manajemen yang terampil dan memiliki motivasi serta idealisms koperasi.

4. Terjalinnya pola kerjasama antara koperasi dalam satu kesatuan jalinan kelembagaan koperasi yang terpadu dan menyeluruh, serta terkait dalam tata ekonomi nasional bersama-sama dengan usaha swasta dan usaha negara.

5. Terselenggaranya penelitian, pengkajian dan pengembangan perkoperasian secara lebih mantap dan terarah.

6. Kebijaksanaan pemantapan kelembagaan pembina.

Agenda Reposisi

Beberapa agenda reposisi adalah sebagai berikut:



a. Reposisi Kelembagaan Koperasi, meliputi:

1) Bagaimana fleksibilitas kelembagaan koperasi dalam mengantisipasi dinamika perubahan akibat globalisasi

2) Bagaimana peningkatan partisipasi anggota koperasi

3) Bagaimana pembinaan dan pengembangan manajemen koperasi berdasarkan pengembangan sistem informasi

4) Bagaimana memanfaatkan perkembangan informasi teknologi untuk penerangan, penyuluhan, pendidikan dan latihan perkoperasian

5) Bagaimana pengawasan koperasi dalam era transparasi dan bertanggung gugat

6) Bagaimana peningkatan peranan DEKOPIN dalam pembinaan koperasi, advokasi

b. Reposisi Pengembangan Usaha Koperasi, meliputi:

1) Bagaimana peningkatan dan pengembangan efisiensi dan produktivitas usaha koperasi

2) Bagaimana peningkatan dan pengembangan kesempatan usaha bagi koperasi dalam era pasar bebas

3) Bagaimana peningkatan dan pengembangan struktur permodalan

4) Bagaimana peningkatan dan pengembangan sarana usaha koperasi

5) Bagaimana peningkatan dan pengembangan kerjasama usaha dalam rangka membangun sistem jaringan usaha yang strategis



c. Program Penelitian dan Pengembangan Koperasi, meliputi:

1) Peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan, yang meliputi seluruh aspek pengembangan perkoperasian melalui pendekatan interdisipliner dan lintas sektoral yang terkoordinasi dan terintegrasi.

2) Pengkajian dan perumusan pengetahuan perkoperasian dalam rangka penyusunan keilmuan koperasi, sebagai bahan pengajaran ilmu koperasi dalam pendidikan formal.

3) Meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan perkoperasian untuk memberikan masukan yang diperlukan bagi penyusunan pola pengembangan koperasi serta persiapan langkah-langkah bagi usaha membangun koperasi.

4) Mengembangkan berbagai pola dan perangkat pembangunan koperasi baik perangkat lunak maupun perangkat keras, yang meliputi aspek-aspek manajemen personil, permodalan dan perkreditan, produksi serta pemasaran.

5) Mengkaji proyek rintisan/percontohan dalam rangka memperoleh sistem dan peralatan teknis yang belum dijadikan pola atau sistem operasional.

6) Mengembangkan pusat dokumentasi ilmiah dan informasi perkoperasian yang didukung oleh sistem dan jaringan informasi yang menyeluruh dan terpadu, guna memonitor dan mengevaluasi berbagai perkembangan pembangunan koperasi serta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya.

7) Meningkatkan kerjasama koperasi dengan lembaga-lembaga pendidikan, penelitian, pengembangan dan pengkajian baik di lingkungan pemerintah maupun swasta.

8) Meningkatkan partisipasi para pengelola koperasi di daerah-daerah sebagai unsur penunjang penelitian dan pengembangan koperasi dalam menciptakan keselarasan dan keserasian antara pendekatan atas bawah (top-down approach) dalam pembangunan koperasi.

Disamping melaksanakan kegiatan-kegiatan diatas, dan dalam upaya reposisi peran koperasi juga perlu dilaksanakan kegiatan tambahan yang merupakan upaya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna sarana dan sistem administrasi koperasi secara terpadu melalui peningkatan profesionalisme, idealisme dan dinamika organisasi dengan memanfaatkan sumber daya lembaga pembina koperasi secara optimal. Upaya ini terutama ditujukan guna mendukung proses konsolidasi Gerakan Koperasi. Dalam rangka memantapkan dan menyempurnakan pendayagunaan sarana tersebut perlu disusun kegiatan sebagai berikut:

Meningkatkan daya guna dan hasil guna pemanfaatan sarana dan prasarana fisik di lingkungan lembaga pembina koperasi, sehingga dapat memperlancar pelaksanaan kegiatan reposisi peran koperasi.
Menyempurnakan dan meningkatkan tatalakasana dan administrasi di lingkungan lembaga pembina koperasi yang menunjang pelaksanaan tugas-tugasnya dalam mendukung pembangunan perkoperasian pada khususnya, melalui penyempurnaan dan peningkatan proses perumusan/ penyusunan kebijaksanaan, rencana, program, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan pelaksanaan gerakan serta kegiatan reposisi peran koperasi.
Memantapkan dan menyempurnakan sistem pengawasan di lingkungan lembaga pembina koperasi, baik pengawasan fungsional internal maupun pengawasan eksternal. Dalam hubungan ini perlu disempurnakan dan dimantapkan lebih lanjut sistem informasi manajemen untuk mendukung pelaksanaan proses monitoring dan evaluasi berbagai program pembinaan perkoperasian secara transparan.
Meningkatkan kerjasama antara gerakan dan lembaga pembina koperasi dalam rangka mewujudkan keterpaduan konsistensi pelaksanaan kebijaksanaan dan program pengembangan koperasi dengan pengembangan sektor lainnya.


Sebagai pedoman dasar dan arah yang jelas bagi pelaksanaan pembangunan koperasi dalam era reformasi, maka di perlukan adanya Konsep Dasar Reposisi Peran Koperasi yang diaplikasikan dalam bentuk ”Pola Dasar Pengembangan Peran Koperasi”. Pola dasar tersebut memuat tujuan, pendekatan, manfaat dan sasaran reposisi peran koperasi. Pelaksanaan konsep dasar reposisi peran koperasi tersebut, memerlukan penjabaran-penjabaran lebih lanjut secara teknis pada setiap tahun dalam bentuk Rencana Operasional Pengembangan Peran Koperasi (ROPPK), agar terjadi kesamaan gerak langkah dalam kegiatan operasional antar koperasi di lapangan. Atas dasar ROPPK, secara operasional tiap-tiap koperasi perlu mempertimbangkan potensi kondisi dan situasi di daerahnya atau sesuai dengan kondisi lokal spesifik. Pedoman dasar dan arah pengembangan koperasi ini baru akan bermanfaat jika dilaksanakan secara konsisten dan bersungguh-sungguh. Di samping itu, partisipasi aktif para pengusaha kecil yang anggota koperasi, juga sangat menentukan keberhasilan pembangunan koperasi. Karena itu upaya-upaya untuk meningkatkan partisipasi mereka perlu dikembangkan secara terus menerus, melalui pembuktian kongkrit manfaat koperasi dan tidak hanya melalui penyuluhan, pendidikan dan pelatihan yang lebih bersifat normatif.


http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/reposisi%20koperasi.htm

Minggu, 08 Januari 2012

pembagian SHU (prinsip)

Anggota koperasi memiliki dua fungsi ganda,yaitu:
a. Sebagai pemilik (Owner)
b. Sebagai pelanggan (Costomer)
Sebagai pemilik,seorang anggota berkewajiban melakukan investasi. Dengan demikian, sebagai investor anggota berhak menerima hasil investasinya.
Disisi lain, sebagai pelanggan, seorang anggota berkewajiban berpartisipasi dalam setiap transaksi bisnis di koperasinya.
Agar tercermin azaz keadilan, demokrasi, trasparansi ,dan sesuai dengan prinsip-prinsip koperasi,maka perlu diperhatikan Pinsip-Prinsip Pembagian SHU Sebagai Berikut.
1. SHU Yang Dibagi Adalah Yang bersumber Dari Anggota
Pada hakekatnya SHU yang dibagi kepada anggota adalah yang bersumber dari anggota itu sendiri.
Sedangkan SHU yang bukan berasal dari transaksi dengan anggota pada dasarnya tidak bibagi kepada anggota, melainkan dijadikan sebagai cadang koperasi. Dalam kasus koperasi tertentu, bila SHU yang bersumber dari non anggota cukup besar, maka rapat anggota dapat menetapkannya untuk bibagi secara merata sepanjang tidak membebani Likuiditas koperasi.
Pada koperasi yang pengelolaann pembukuannya sydah bai, biasanya terdapat pemisahan sumber SHU yang berasal dari anggota yang berasal dari nonanggota. Oleh sebab itu, langkah pertama dalam pembagian SHU adalah memilahkan yang bersumber dari hasil transaksi usaha dengan anggota dan yang bersumber dari nonanggota.
2. SHU Anggota Adalah Jasa Dari Modal Dan Transaksi Usaha Yang Dilakukan Anggota Sendiri
SHU yang diterima setiap anggota pada dasarnya merupakan insentif dari modal yang diinvestasikannya dan dari hasil transaksi yang dilakukan anggotakoperasi. Oleh sebab itu, perlu ditentukan proposisi SHU untuk jasa modal dan jasa transaksi usaha yang dibagi kepada anggota.
Dari SHU bagian anggota, harus ditetapkan beberapa persentase untuk jasa modal,misalkan 30% dan sisanya sebesar 70% berate untuk jasa usaha. Sebenarnya belum ada formula yang baku mengenai penentuan proposisi jasa modal dan jasa transaksi usaha, tetapi hal ini dapat dilihat dari struktur pemodalan koperasi itu sendiri.
Apabila total modal sendiri koperasi sebagian besar bersumber dari simpanan-simpanan anggota (bukan dari donasi ataupun dana cadangan),maka disarankan agar proporsinya terhadap pembagian SHU bagian anggota diperbesar, tetapi tidak akan melebihi dari 50%. Hal ini perlu diperhatikan untuk tetap menjaga karakter koperasi itu sendiri, dimana partisipasi usaha masih lebih diutamakan.
3. Pembagian SHU Anggota Dilakukan Secara transparan
Proses perhitungan SHU peranggota dan jumlah SHU yang dibagi kepada anggota harus diumumkan secara transparan, sehingga setiap anggota dapat dengan mudah menghitung secara kuantitatif berapa bartisipasinya kepada koperasinya.
Prinsip ini pada dasrnya juga merupakan salah satu proses pendidikan bagi anggota koperasi dalam membangun suatu kebersamaan, kepemilikan terhadap suatu badan usaha, dan pendidikan dalam proses demakrasi.
4. SHU Anggota Dibayar Secara Tunai
SHU per anggota haruslah diberikan secara tunai, karena dengan demikian koperasi membuktikan dirinya sebagai badan usaha yangsehat kepada anggota dan masyarakat mitra bisnisnya.

sumber : http://kamukucrud.wordpress.com/2010/12/31/prinsip-pembagian-shu/

kriteria keberhasilan koperasi

Menurut tokoh koperasi Ibnoe Soedjono, untuk memahami apa yang disebut kemampuan koperasi, kita perlu menggunakan tolak ukur keberhasilan koperasi secara mikro. Keberhasilan koperasi dapat didekati dari dua sudut, yaitu sudut perusahaan dan sudut efek koperasi.

Pendekatan dari sudut perusahaan
1. Peningkatan anggota perorangan. Pada dasarnya lebih penting jumlah anggota perorangan daripada jumlah koperasi, karena sebagai kumpulan orang kekuatan ekonomi bersumber dari anggota perorangan. Ada dua faktor keanggotaan yang perlu diperhatikan, yaitu kemampuan ekonomi dan tingkat kecerdasan anggota. Kemampuan ekonomi anggota penting karena dapat digerakkan untuk menyusun investasi, sedangkan kecerdasan anggota sangat menentukan mutu manajemen yang sifatnya partisipatori dalam rapat anggota sebagai kekuasaan tertinggi dengan satu anggota satu suara.
2. Peningkatan modal, terutama yang berasal dari koperasi sendiri. Jumlah modal dari dalam dapat digunakan sebagai salah satu indikator utama dari kemandirian koperasi. Semakin besar modal dari dalam berarti kemandirian koperasi tersebut semakin tinggi. Indikator kemandirian yang lain adalah keberanian manajemen untuk mengambil keputusan sendiri.
3. Peningkatan volume usaha. Volume usaha berkaitan dengan skala ekonomi, semakin besar volume usaha suatu koperasi berarti semakin besar potensinya sebagai perusahaan, sehingga dapat memberikan pelayanan dan jasa yang lebih baik kepada para anggota. Sejalan dengan identitas koperasi yang menyatakan bahwa anggota dan pelanggan adalah orang yang sama, maka volume usaha terutama harus berasal dari jasa anggota. Loyalitas dan partisipasi aktif anggota sangat menentukan besarnya volume usaha koperasi khususnya yang berasal dari anggota.
4. Peningkatan pelayanan kepada anggota dan masyarakat. Berbeda dengan unsur yang lain, pelayanan ini sukar dihitung secara kuantitatif. Anggota dapat merasakan efeknya dengan membandingkan sebelum dan sesudah ada koperasi. Bentuk pelayanan dapat bermacam-macam, misalnya: pendidikan, kesehatan, beasiswa, sumbangan, pelayanan usaha yang cepat dan efisien, dan sebagainya.
Pendekatan dari sudut efek koperasi
1. Produktivitas artinya koperasi dengan seluruh hasil kegiatannya dapat memenuhi seluruh kewajiban yang harus dibayarnya, seperti: biaya perusahaan, kewajiban kepada anggota, dan sebagainya.
2. Efektivitas dalam arti mampu memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap anggota-anggotanya.
3. Adil dalam melayani anggota-anggota, tanpa melakukan diskriminasi.
4. Mantap dalam arti bahwa koperasi begitu efektif sehingga anggota-anggota tidak ada alasan untuk meninggalkan koperasi guna mencari alternatif pelayanan di tempat lain yang dianggap lebih baik.
Ibnoe Soedjono juga menambahkan bahwa di Indonesia ada ukuran keberhasilan lain yang perlu digunakan secara makro, sebagai akibat dari peranan koperasi dalam melayani masyarakat dan sebagai alat kebijaksanaan pembangunan pemerintah. Ukuran keberhasilan ini seringkali didasarkan pada penilaian pemerintah terhadap pencapaian target yang sudah ditetapkan. Dalam hal dimana koperasi melaksanakan program-program pemerintah, maka seharusnya pemerintah menetapkan target-target yang ingin dicapai yang seharusnya sama atau tidak bertentangan dengan target yang diinginkan koperasi, sehingga keduanya dapat dipadukan. Dengan demikian kepuasan anggota sebagai tolok ukur keberhasilan koperasi tetap bisa digunakan sebab apa pun yang telah dicapai koperasi, keberhasilan koperasi harus diukur dari pendapat anggota-anggotanya, apakah mereka puas atau tidak atas kinerja koperasinya. Dengan berpedoman pada manajemen koperasi dimana rapat anggota mempunyai kekuasaan tertinggi, maka pengurus koperasi harus berhasil dalam menjalankan kegiatan operasionalnya sehingga anggota bisa merasa puas atas kinerja koperasinya.

Kenyataan menunjukkan bahwa apa yang dihasilkan koperasi sebagai sistem terbuka pada hakikatnya dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor ekstern sebagai berikut:
1. Iklim yang baik di bidang ekonomi, politik, dan hukum yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan koperasi, seperti: kebijakan ekonomi yang membantu dan melindungi kegiatan rakyat kecil, kemampuan politik untuk membantu dan mengembangkan koperasi, dan peraturan perundang-undangan yang melindungi dan memantapkan peranan koperasi.
2. Kebijakan pemerintah yang jelas dan efektif untuk mendukung koperasi, seperti: kebijakan di bidang produksi, perdagangan, perkreditan, perpajakan, dan sebagainya.
3. Sistem prasarana yang dapat melancarkan perkembangan koperasi, seperti: pelayanan birokrasi, pendidikan, penyuluhan, sarana perhubungan dan pengangkutan, perkreditan, dan sebagainya.
4. Kondisi lingkungan setempat yang memungkinkan untuk perkembangan koperasi, seperti: semangat gotong-royong, tidak ada kekuatan monopolis, dan tidak ada persaingan yang tidak seimbang.
Menurut M.G. Suwarni Dosen FE Universitas Janabadra Yogyakarta, keberhasilan koperasi dalam melaksanakan perannya sebagai tiang perekonomian bangsa , dengan hirarki kedudukan koperasi sebagai badan usaha, sebagai gerakan ekonomi, maupun sebagai sistem ekonomi memerlukan tolok ukur minimal (Nugroho SBM, 1996).

Tolak ukur keberhasilan koperasi sebagai badan usaha
1. Jenis anggota, jumlah anggota, dan jumlah anggota yang aktif serta benar-benar ikut memiliki koperasi (jumlah anggota yang berkualitas.
2. Jumlah simpanan pokok, simpanan wajib, dan simpanan sukarela, serta kesadaran anggota untuk membayarnya. Simpanan-simpanan tersebut merupakan komponen modal sendiri bagi koperasi.
3. Besarnya SHU dan distribusi SHU kepada anggota. Semakin adil pendistribusian SHU kepada anggota berarti koperasi tersebut semakin berhasil.
4. Besarnya modal, asal modal, dan jenis pemilik modal. Koperasi yang memiliki modal besar tetapi jumlah anggotanya sedikit bisa dibilang bukan koperasi.
Tolok ukur keberhasilan koperasi sebagai gerakan ekonomi
1. Jasa pelayanan yang diberikan koperasi, sehingga usaha koperasi lebih maju.
2. Peningkatan kondisi sosial ekonomi anggota koperasi.
Tolok ukur keberhasilan koperasi sebagai sistem ekonomi
1. Kerja sama yang baik dengan organisasi-organisasi lain, tanpa persaingan dalam melaksanakan usahanya.
2. Koperasi semakin dapat dipercaya, tanpa harus dikendalikan secara ketat oleh pemerintah.
3. Peningkatan peran serta koperasi sejajar dengan BUMN dan perusahaan-perusahaan swasta dalam kebijakan-kebijakan, termasuk kepemilikan saham BUMN dan perusahaan swasta oleh koperasi.
Selanjutnya M.G. Suwarni menyatakan bahwa koperasi bisa berkembang apabila koperasi tersebut baik dan sehat. Koperasi dikatakan baik apabila di dalam koperasi tersebut tidak terjadi penyimpangan yang fatal, tidak ada monopoli kekuasaan lain selain rapat anggota, dan semua unsur organisasi koperasi memberi dukungan terhadap pelaksanaan program kerja/keputusan yang telah disepakati. Sedangkan tingkat kesehatan koperasi diukur dari kesehatan organisasinya, kesehatan mentalnya, dan kesehatan usahanya.
Oleh Triwitarsih(12 Agustus 2009)

Organisasi koperasi dikatakan sehat apabila kesadaran anggota koperasi tinggi, AD/ART dilaksanakan, rapat anggota/pengurus/badan pengawas dapat berfungsi secara optimal. Kesehatan mental koperasi dapat dilihat dari besarnya tanggung jawab rapat anggota/pengurus/badan pengawas, pengelolaan koperasi berdasarkan kemanusiaan/kekeluargaan, keterbukaan, kejujuran, dan keadilan, program-program pendidikan koperasi dilaksanakan secara rutin, konflik-konflik disfungsional dapat diatasi, serta koperasi dapat hidup mandiri. Usaha koperasi sehat apabila pengelolaanya didasarkan atas azas dan sendi dasar koperasi, berjalan secara rutin, RAT dilaksanakan secara rutin, setiap RAT dibagikan SHU secara adil, memberikan pelayan yang baik, dan usaha yang semakin meningkat.

Sumber =http://ksupointer.com/kriteria-keberhasilan-koperasi

permodalan koperasi

1. Arti Modal Koperasi
Simpanan sebagai istilah penamaan modal koperasi pertama kali digunakan dalam UU 79 tahun 1958, yaitu UU koperasi pertama setelah kemerdekaan. Sejak saat itu sampai sekarang modal koperasi adalah simpanan, berbeda dengan perusahaan pada umumnya yang menggunakan istilah saham. Mungkin, istilah simpanan muncul karena kuatnya anjuran untuk menabung, dalam arti memupuk modal bagi rakyat banyak yang umumnya miskin agar memiliki kemampuan dan mandiri. Bahkan usaha koperasi nomor satu yang ditentukan UU adalah menggiatkan anggota untuk menyimpan. Mungkin tidak salah anggapan sementara orang bahwa UU koperasi lebih cocok untuk Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Memupuk modal dengan menyimpan adalah sangat tepat. Tetapi kerancuan pengertian dan permasalahan timbul ketika istilah simpanan dibakukan sebagai modal koperasi.
Ada yang berpandangan bahwa istilah simpanan merupakan ciri khas koperasi Indonesia. Tetapi kekhasan tersebut tidak akan ada gunanya jika tidak memiliki keunggulan dibanding yang lain. Malah sebaliknya kekhasan bisa menempatkan koperasi menjadi eksklusif yang sulit bergaul atau bahkan tersisih dalam pergaulan dunia usaha. Tidak ada kesan bahwa rumusan ICA Cooperative Identity Statement (ICIS ; 1995) menempatkan koperasi dalam posisi eksklusif. Koperasi harus berani tampil dalam lingkungan dunia usaha memperjuangkan kepentingan ekonomi anggota berdampingan atau bersaing dengan perusahaan lainnya. Apalagi dalam alam perdagangan bebas dan globalisasi yang tengah berlangsung.
UU sebelumnya, yaitu UU tahun 1915, 1927, 1933, dan 1949, tidak mengatur permodalan koperasi dan aspek usaha lainnya. UU tersebut hanya mengatur pengertian dan identitas koperasi, aspek kelembagaan, dan pengesahan badan hukum oleh pemerintah. Sedang aspek usaha atau jika koperasi menjalankan kegiatan usaha mengikuti hukum sipil yang berlaku. Dengan demikian maka istilah yang digunakan untuk modal koperasi adalahandil atau saham, sama dengan yang dipergunakan oleh perusahaan pada umumnya. Bung Hatta dalam bukunya pengantar ke Jalan Ekonomi Perusahaan.
2.Sumber Modal
• Menurut UU No.12/1967
• Menurut UU No 25/1952
Jawaban:
Istilah simpanan untuk modal koperasi digunakan baik untuk ekuitas (modal sendin) maupun modal pinjaman, sehingga status modal koperasi menjadi tidak jelas. UU tahun 1958, 1965, dan 1967 hanya menjelaskan sumbermodal dan bukan status modal, dengan menyebut berbagai macam simpanan, termasuk simpanan yang berstatus pinjaman dan cadangan. UU 25 tahun 1995 menegaskan pembedaan pengertian status modal koperasi, yaitu modal sendiri dengan modal pinjaman. Tetapi karena istilah yang digunakan tetap simpanan, maka kerancuan terjadi dalam praktek. Mestinya istilah simpanan hanya digunakan untuk modal sendiri, yaitu simpanan pokok dan simpanan wajib yang ditentukan menanggung resiko, dan tidak digunakan untuk modal yang bersifat pinjaman. Dalam praktek istilah simpanan juga dipergunakan untuk modal pinjaman, karena istilah itu sudah berlaku umum di lingkungan koperasi. Di dunia perkoperasian juga dikenal istilah saving atau simpanan, tetapi artinya sama dengan yang berlaku umum.
Perbedaan istilah, simpanan untuk koperasi dan saham untuk perusahaan pada umumnya dilihat dari segi hukum dapat dibenarkan, karena simpanan merupakan ketentuan UU. Masalah yang timbul dalam praktek di lingkungan dunia usaha, adalah perbedaan pengertian terhadap istilah simpanan. Ketentuan yang berkaitan dengan saham tidak berlaku untuk simpanan. Jika ketentuan tersebut memberikan perlakukan tertentu yang menguntungkan saham, maka simpanan tidak ikut menikmatinya. Istilah simpanan untuk modal koperasi merupakan pengertian eksklusif koperasi yang berbeda dengan pengertian umum, yang akhirnya mengungkung dirinya sendiri.
Tulisan ini membahas modal sendiri koperasi dengan berbagai implikasi dari istilah simpanan, serta berbagai permasalahan yang berhubungan dengan modal. Acuannya menggunakan UU 25 tahun 1992 yang masih berlaku, yang menentukan bahwa modal sendiri koperasi terdiri dari simpanan pokok, simpanan wajib, cadangandan hibah. Penyebutan UU yang dimaksud adalah UU 25 tahun 1992.
3. Distribusi cadangan Koperasi
DISTRIBUSI CADANGAN KOPERASI
Pengertian dana cadangan menurut UU No. 25/1992, adalah sejumlah uang yang diperoleh dari penyisihan sisa hasil usaha yang dimasukkan untuk memupuk modal sendiri dan untuk menutup kerugian koperasi bila diperlukan.
Sesuai Anggaran Dasar yang menunjuk pada UU No. 12/1967 menentukan bahwa 25 % dari SHU yang diperoleh dari usaha anggota disisihkan untuk Cadangan , sedangkan SHU yang berasal bukan dari usaha anggota sebesar 60 % disisihkan untuk Cadangan.
Menurut UU No. 25/1992, SHU yang diusahakan oleh anggota dan yang diusahakan oleh bukan anggota, ditentukan 30 % dari SHU tersebut disisihkan untuk Cadangan.
Distribusi CADANGAN Koperasi antara lain dipergunakan untuk:
Memenuhi kewajiban tertentu
Meningkatkan jumlah operating capital koperasi
Sebagai jaminan untuk kemungkinan – kemungkinan rugi di kemudian hari
Perluasan usaha
Sumber:
1. http://smecda.com/deputi7/file_Infokop/Edisi%2022/modal_kop.htm
2. http://www.ppt2txt.com/r/aa5c3e49/
3. www.google.com
4. www.wikipedia.com

cara memajukan koperasi di indonesia

Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang sangat diametral. Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya.
Di negara berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dengan maksud mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah bagi pengembangan koperasi serta dukungan/perlindungan yang diperlukan. Selain itu adapun cara yg dilakukan untuk memajukan koperasi di Indonesia :
1. Menghimpun Kekuatan Ekonomi dan Kekuatan Politis
Kebijaksanaan ekonomi makro cenderung tetap memberikan kesempatan lebih luas kepada usaha skala besar. Paradigma yang masih digunakan hingga saat ini menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh usaha skala besar dengan asumsi bahwa usaha tersebut akan menciptakan efek menetes ke bawah. Namun yang dihasilkan bukanlah kesejahteraan rakyat banyak melainkan keserakahan yang melahirkan kesenjangan. Dalam pembangunan, pertumbuhan memang perlu, tetapi pencapaian pertumbuhan ini hendaknya melalui pemerataan yang berkeadilan.
Pada saat ini, belum tampak adanya reformasi di bidang ekonomi lebih-lebih disektor moneter, bahkan kecenderungan yang ada adalah membangun kembali usaha konglomerat yang hancur dengan cara mengkonsentrasikan asset pada permodalan melalui program rekapitalisasi perbankan.
Dalam menghadapi situasi seperti ini, alternatif terbaik bagi usaha kecil termasuk koperasi adalah menghimpun kekuatan sendiri baik kekuatan ekonomi maupun kekuatan polotis untuk memperkuat posisi tawar dalam penentuan kebijakan perekonomian nasional. Ini bukanlah kondisi yang mustahil diwujudkan, sebab usaha kecil termasuk koperasi jumlahnya sangat banyak dan tersebar di seluruh wilayah nusantara sehingga jika disatukan akan membentuk kekuatan yang cukup besar.
Dengan ini diharapkan dapat memajukan koperasi sebagai salah satu sektor perekonomian di Indonesia. Juga diharapkan koperasi dapat bersaing di perekonomian dunia. Saya sangat mengharapkan agar koperasi di Indonesia dapat terus maju dan berkembang karena koperasi adalah salah satu badan usaha yang menyediakan fasilitas untuk masyarakat kecil dan menengah. Semoga dengan ini dapat membangun koperasi yang lebih baik lagi.


2. Menerapkan Sistem GCG
Koperasi perlu mencontoh implementasi good corporate governance(GCG) yang telah diterapkan pada perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum perseroan. Implementasi GCG dalam beberapa hal dapat diimplementasikan pada koperasi. Untuk itu, regulator, dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM perlu memperkenalkan secara maksimal suatu konsep good cooperative governance (disingkat juga dengan GCG) atau tatakelola koperasi yang baik.
Perkembangan koperasi di Indonesia semakin lama semakin menunjukkan perkembangan menggembirakan. Sebagai salah satu pilar penopang perekonomian Indonesia, keberadaan koperasi sangat kuat dan mendapat tempat tersendiri di kalangan pengguna jasanya. Koperasi telah membuktikan bahwa dirinya mampu bertahan di tengah gempuran badai krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Keberadaan koperasi semakin diperkuat pula dengan dibentuknya Kementerian Negara Koperasi dan UKM yang salah satu tugasnya adalah mengembangkan koperasi menjadi lebih berdaya guna. Koperasi sangat diharapkan menjadi soko guru perekonomian yang sejajar dengan perusahaan-perusahaan dalam mengembangkan perekonomian rakyat.
Analogi sederhana yang dikembangkan adalah jika koperasi lebih berdaya, maka kegiatan produksi dan konsumsi yang jika dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, maka melalui koperasi yang telah mendapatkan mandat dari anggota-anggotanya hal tersebut dapat dilakukan dengan lebih berhasil. Dengan kata lain, kepentingan ekonomi rakyat, terutama kelompok masyarakat yang berada pada aras ekonomi kelas bawah (misalnya petani, nelayan, pedagang kaki lima) akan relatif lebih mudah diperjuangkan kepentingan ekonominya melalui wadah koperasi. Inilah sesungguhnya yang menjadi latar belakang pentingnya pemberdayaan koperasi.
Namun demikian, kenyataan membuktikan bahwa koperasi baru manis dikonsep tetapi sangat pahit perjuangannya di lapangan. Semakin banyak koperasi yang tumbuh semakin banyak pula yang tidak aktif. Bahkan ada koperasi yang memiliki badan hukum namun tidak eksis sama sekali. Hal ini sangat disayangkan karena penggerakan potensi perekonomian pada level terbawah berawal dan diayomi melalui koperasi. Oleh karena itu, koperasi tidak mungkin tumbuh dan berkembang dengan berpegang pada tata kelola yang tradisonal dan tidak berorientasi pada pemuasan keperluan dan keinginan konsumen. Koperasi perlu diarahkan pada prinsip pengelolaan secara modern dan aplikatif terhadap perkembangan zaman yang semakin maju dan tantangan yang semakin global.
Koperasi perlu mencontoh implementasi good corporate governance(GCG) yang telah diterapkan pada perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum perseroan. Implementasi GCG dalam beberapa hal dapat diimplementasikan pada koperasi. Untuk itu, regulator, dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM perlu memperkenalkan secara maksimal suatu konsep good cooperative governance (disingkat juga dengan GCG) atau tatakelola koperasi yang baik. Konsep GCG sektor koperasi perlu dimodifikasi sedemikian rupa untuk menjawab tantangan pengelolaan koperasi yang semakin kompleks. Implementasi GCG perlu diarahkan untuk membangun kultur dan kesadaran pihak-pihak dalam koperasi untuk senantiasa menyadari misi dan tanggung jawab sosialnya yaitu mensejahterakan anggotanya. Dalam mengimplementasikan GCG, koperasi Indonesia perlu memastikan beberapa langkah strategis yang memadai dalam implementasi GCG. Pertama, koperasi perlu memastikan bahwa tujuan pendirian koperasi benar-benar untuk mensejahterakan anggotanya. Pembangunan kesadaran akan tujuan perlu dijabarkan dalam visi,misi dan program kerja yang sesuai. Pembangunan kesadaran akan mencapai tujuan merupakan modal penting bagi pengelolaan koperasi secara profesional, amanah, dan akuntabel.

3. Meningkatkan Daya Jual Koperasi dan Melakukan Sarana Promosi


Untuk meningkatkan daya jual koperasi, yang akan saya lakukan adalah membuat koperasi lebih bagus lagi. Membuat koperasi agar terlihat menarik supaya masyarakat tertarik ntuk membeli di koperasi mungkin dengan cara mengecat dinding koperasi dengan warna-warna yang indah, menyediakan AC, ruangan tertata dengan rapi dan menyediakan pelayanan yang baik sehingga masyarakat puas.
Dan tidak hanya itu, koperasi pun memerlukan sarana promosi untuk mengekspose kegiatan usahanya agar dapat diketahui oleh masyarakat umum seperti badan usaha lainnya salah satu caranya dengan menyebarkan brosur dan membuat spanduk agar masyarakat mengetahuinya. Dengan cara ini diharapkan dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya di koperasi.
4. Penggunaan Kriteria Identitas
Penggunaan prinsip identitas untuk mengidentifikasi koperasi adalah suatu hal yang agak baru, dengan demikian banyak koperasiwan yang belum mengenalnya dan masih saja berpaut pada pendekatan-pendekatan esensialis maupun hukum yang lebih dahulu, yang membuatnya sulit atau bahkan tidak mungkin untuk membedakan suatu koperasi dari unit-unit usaha lainnya seperti kemitraan, perusahaan saham atau di Indonesia dikenal dengan Perseroan Terbatas (PT).
Dengan menggunakan kriteria identitas, kita akan mampu memadukan pandangan-pandangan baru dan perkembangan-perkembangan muktahir dalam teori perusahaan ke dalam ilmu koperasi.
5. Merubah Kebijakan Pelembagaan Koperasi
Dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat kebijakan pelembagaan koperasi dilakukan degan pola penitipan, yaitu dengan menitipkan koperasi pada dua kekuatan ekonomi lainnya. Oleh sebab itu saya akan merubah kebijakan tersebut agar koperasi dapat tumbuh secara normal layaknya sebuah organisasi ekonomi yang kreatif, mandiri, dan independen.

6. Merekrut Anggota yang Berkompeten
Saya akan membuat koperasi lebih menarik sehingga tidak kalah dengan badan usaha lainnya. Dimulai dari keanggotaan koperasi itu sendiri, pertama saya akan merekrut anggota yang berkompeten dalam bidangnya. Tidak hanya orang yang sekedar mau menjadi anggota melainkan orang-orang yang memiliki kemampuan dalam pengelolaan dan pengembangan koperasi. Contohnya dengan mencari pemimpin yang dapat memimpin dengan baik, kemudian pengelolaan dipegang oleh orang yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing. Serta perlu dibuat pelatihan bagi pengurus koperasi yang belum berpengalaman.
7. Membenahi Kondisi Internal Koperasi
Praktik-praktik operasional yang tidak tidak efisien, mengandung kelemahan perlu dibenahi. Dominasi pengurus yang berlebihan dan tidak sesuai dengan proporsinya perlu dibatasi dengan adanya peraturan yang menutup celah penyimpangan koperasi. Penyimpangan-penyimpangan yang rawan dilakukan adalah pemanfaatan kepentingan koperasi untuk kepentingan pribadi, penyimpangan pengelolaan dana, maupun praktik-praktik KKN.
8. Memperbaiki Koperasi Secara Menyeluruh
Kementerian Koperasi dan UKM perlu menyiapkan blue print pengelolaan koperasi secara efektif. Blue print koperasi ini nantinya diharapkan akan menjadi panduan bagi seluruh koperasi Indonesia dalam menjalankan kegiatan operasinya secara profesional, efektif dan efisien. Selain itu diperlukan upaya serius untuk mendiseminasikan dan mensosialisasikan GCG koperasi dalam format gerakan nasional berkoperasi secara berkesinambungan kepada warga masyarakat, baik melalui media pendidikan, media massa, maupun media yang lainnya yang diharapkan akan semakin memajukan perkoperasian Indonesia.
9. Meningkatkan Imej Koperasi

Imej koperasi sebagai ekonomi kelas dua masih tertanam dalam benak orang – orang Indonesia sehingga, menjadi sedikit penghambat dalam pengembangan koperasi menjadi unit ekonomi yang lebih besar ,maju dan punya daya saing dengan perusahaan – perusahaan besar.

10. Memberi Kesadaran Pentingnya Koperasi di Masyarakat

Perkembangan koperasi di Indonesia yang dimulai dari atas (bottom up) tetapi dari atas (top down), artinya koperasi berkembang di indonesia bukan dari kesadaran masyarakat, tetapi muncul dari dukungan pemerintah yang disosialisasikan ke bawah. Berbeda dengan yang di luar negeri, koperasi terbentuk karena adanya kesadaran masyarakat untuk saling membantu memenuhi kebutuhan dan mensejahterakan yang merupakan tujuan koperasi itu sendiri, sehingga pemerintah tinggal menjadi pendukung dan pelindung saja. Di Indonesia, pemerintah bekerja double selain mendukung juga harus mensosialisasikanya dulu ke bawah sehingga rakyat menjadi mengerti akan manfaat dan tujuan dari koperasi.

11. Mensosialisasikan Koperasi di Masyarakat

Tingkat partisipasi anggota koperasi masih rendah, ini disebabkan sosialisasi yang belum optimal. Masyarakat yang menjadi anggota hanya sebatas tahu koperasi itu hanya untuk melayani konsumen seperti biasa, baik untuk barang konsumsi atau pinjaman. Artinya masyarakat belum tahu esensi dari koperasi itu sendiri, baik dari sistem permodalan maupun sistem kepemilikanya. Mereka belum tahu betul bahwa dalam koperasi konsumen juga berarti pemilik, dan mereka berhak berpartisipasi menyumbang saran demi kemajuan koperasi miliknya serta berhak mengawasi kinerja pengurus. Keadaan seperti ini tentu sangat rentan terhadap penyelewengan dana oleh pengurus, karena tanpa partisipasi anggota tidak ada kontrol dari anggota nya sendiri terhadap pengurus.

12. Meningkatkan Pendidikan Mengenai Koperasi

Manajemen koperasi yang belum profesional, ini banyak terjadi di koperasi koperasi yang anggota dan pengurusnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. contohnya banyak terjadi pada KUD yang nota bene di daerah terpencil. Banyak sekali KUD yang bangkrut karena manajemenya kurang profesional baik itu dalam sistem kelola usahanya, dari segi sumberdaya manusianya maupun finansialnya. Banyak terjadi KUD yang hanya menjadi tempat bagi pengurusnya yang korupsi akan dana bantuan dari pemerintah yang banyak mengucur. Karena hal itu, maka KUD banyak dinilai negatif dan disingkat Ketua Untung Duluan.

13. Meningkatkan Peran Pemerintah

Pemerintah terlalu memanjakan koperasi, ini juga menjadi alasan kuat mengapa koperasi Indonesia tidak maju maju. Koperasi banyak dibantu pemerintah lewat dana dana segar tanpa ada pengawasan terhadap bantuan tersebut. Sifat bantuanya pun tidak wajib dikembalikan. Tentu saja ini menjadi bantuan yang tidak mendidik, koperasi menjadi ”manja” dan tidak mandiri hanya menunggu bantuan selanjutnya dari pemerintah. Selain merugikan pemerintah bantuan seperti ini pula akan menjadikan koperasi tidak bisa bersaing karena terus terusan menjadi benalu negara. Seharusnya pemerintah mengucurkan bantuan dengan sistem pengawasan nya yang baik, walaupun dananya bentuknya hibah yang tidak perlu dikembalikan. Dengan demikian akan membantu koperasi menjadi lebih profesional, mandiri dan mampu bersaing.

Itulah penyebab-penyebab kenapa perkembangan koperasi di Indonesia belum maksimal. Tetapi analisis masalah tadi bukan lah yang utama, justru yang utama jika ingin koperasi maju adalah sebagai generasi penerus bangsa di masa depan tentunya kita harus berperan aktif dalam pengembangan koperasi di negeri ini. Salah satunya melalui keikutsertaan dalam koperasi, mempelajari dan mengetahui tentang perkoperasian secara lebih mendalam, karena percuma kalau hanya ”OMDO” alias omong doang seperti politikus-politikus yang hanya mencari popularitas depan televisi atau bahasa halusnya NATO (No Action Talk Only)

Sumber :
http://kennysiikebby.wordpress.com/2010/09/25/usaha-usaha-yang-dilakukan-untuk-memajukan-koperasi/

Peranan Koperasi dalam Pembangunan Ekonomi

Krisis moneter yang melanda beberapa negara di kawasan Asia (Korea, Thailand, Indonesia, Malaysia) pada tahun 1997 setidaknya menjadi saksi sejarah dan sekaligus memberikan pelajaran sangat berharga bahwa sesungguhnya pengembangan ekono-mi bangsa yang berbasis konglomerasi itu rentan terhadap badai krisis moneter. Sementara itu, pada saat yang sama kita dapat menyaksikan bahwa ekonomi kerak-yatan (diantara mereka adalah koperasi), yang sangat berbeda jauh karakteristiknya dengan ekonomi konglomerasi, mampu menunjukkan daya tahannya terhadap gem-puran badai krisis moneter yang melanda Indonesia.

Pada sisi lain, era globalisasi dan perdagangan bebas yang disponsori oleh kekuatan kapitalis membawa konsekuensi logis antara lain semakin ketatnya persai-ngan usaha diantara pelaku-pelaku ekonomi berskala internasional. Dalam negara perdagangan bebas tersebut, perusahaan-perusahaan multi nasional yang dikelola dengan mengedepankan prinsip ekonomi yang rasional, misalnya melalui penerapan prinsip efektifitas, efisiensi dan produktifitas akan berhadapan dengan, antara lain, koperasi yang dalam banyak hal tidak sebanding kekuatannya. Koperasi di Indonesia berfungsi sebagai badan usaha yang punya azas kekeluargaan dan menguta-makan kesejahteraan anggota, tidak hanya melulu mencari keuntungan saja, pada umumnya bidang usahanya banyak meng-gunakan kandungan lokal, sehingga dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalam negeri dan dapat dijadikan penghasil produk unggulan.

Ekonomi rakyat beberapa waktu terakhir menjadi istilah baru yang banyak didiskusikan dalam berbagai forum dan oleh banyak pihak. Bukan tanpa alasan ekonomi rakyat seolah-olah menjadi trendsetter baru dalam wacana pembangunan. “Ambruknya” ekonomi Indonesia yang selama lebih dari tiga dasawarsa selalu dibanggakan oleh pemerintah, memaksa berbagai pihak meneliti kembali struktur perekonomian Indonesia. Berbagai kajian yang dilaku-kan berhasil menemukenali satu faktor kunci yang menyebabkan keambrukan ekonomi Indonesia yaitu ketergantungan ekonomi Indonesia pada sekelompok kecil usaha dan konglomerat yang ter-nyata tidak memiliki struktur internal yang sehat. Ketergantungan tersebut merupakan konsekuensi logis dari kebijakan ekonomi neoliberal yang mengedepankan pertumbuhan dengan asumsi apabila pertumbuhan tinggi dengan sendirinya akan membuka banyak lapangan kerja, dan karena banyak lapangan kerja maka kemiskinan akan berkurang. Kebijakan ekonomi tersebut ternyata menghasilkan struktur ekonomi yang tidak seimbang. Didalam struktur ekonomi yang tidak seimbang tersebut, sekelompok kecil elit ekonomi — yang menurut BPS jumlahnya kurang dari 1% total pelaku ekonomi — mendapatkan berbagai fasilitas dan hak istimewa untuk menguasai sebagian besar sumber daya ekonomi dan karenanya mendominasi sumbangan dalam PDB, pertumbuhan ekonomi, maupun pangsa pasar. Mana-kala elit ekonomi tersebut mengalami problema keuangan sebagai akibat mis-manajemen dan praktek-praktek yang tidak sehat maka sebagai konsekuensi logisnya berbagai indikator seperti PDB dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan kemerosotan.
Keberadaan koperasi akan sangat ditentukan oleh kesesuaian faktor-faktor tersebut dengan karak-teristik masyarakat atau anggotanya. Jika dilihat dari kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini, maka dapat dihipotesakan bahwa koperasi dapat tumbuh, berkembang, dan seka-ligus juga berperan dan bermanfaat bagi masyarakat yang tengah berkembang dari suatu tradisional dengan ikatan sosiologis yang kuat melalui hubungan emosional primer ke arah masyarakat yang lebih heterogen dan semakin terlibat dengan sistem pasar dan kapital dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, atau yang juga dikenal dengan komu-nitas ‘bazar-ekonomi’. Artinya koperasi tidak diharapkan dapat sangat berkem-bang pada masyarakat yang masih sangat tradisional, subsisten, dan relatif ‘tertutup’ dari dinamika sistem pasar; atau juga pada komunitas yang telah menjadi sangat individualis, dan ber-orientasi kapital. Dengan perkataan lain, koperasi tidak diharapkan dapat berkembang optimal disemua bentuk komunitas. Sebagai bagian dari identifi-kasi berbagai faktor fundamental tersebut maka perlu disadari bahwa pemenuhan faktor-faktor tersebut memang dapat bersifat ‘trade-off’ dengan pertimbangan kinerja jangka pendek suatu organisasi usaha konvensional. Proses yang dilakukan dalam pengembangan koperasi memang mem-butuhkan waktu yang lebih lama dengan berbagai faktor “non-bisnis” yang kuat pengaruhnya. Dengan demikian pemenuhan berbagai faktor fundamental tersebut dapat menyebabkan indikator kinerja lain, seperti pertumbuhan bisnis jangka pendek, harus dikorbankan demi untuk memperoleh kepentingan yang lebih mendasar dalam jangka panjang.
Peningkatan Citra Koperasi, pengembangan kegiatan usaha koperasi tidak dapat dilepaskan dari citra koperasi di masyarakat. Harus diakui bahwa citra koperasi belum, atau sudah tidak seperti yang diharapkan. Masyarakat umumnya memiliki kesan yang tidak selalu positif terhadap koperasi. Koperasi banyak diasosiasikan dengan organisasi usaha yang penuh dengan ketidakjelasan, tidak profesional, justru mempersulit kegiatan usaha anggota (karena berbagai persyaratan), banyak mendapat campur tangan pemerintah, dan sebagainya. Di media massa, berita negatif tentang koperasi tiga kali lebih banyak dari pada berita positifnya (PSP-IPB, 1995); berita dari para pejabat dua kali lebih banyak dari berita yang bersumber langsung dari koperasi, pada-hal prestasi koperasi diberbagai daerah cukup banyak dan berarti. Citra kope-rasi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan koperasi dengan pelaku usaha lain, maupun per-kembangan koperasi itu sendiri. Bahkan citra koperasi yang kurang ‘pas’ tersebut juga turut mempengaruhi pandangan mereka yang terlibat di koperasi, sehingga menggantungkan diri dan mencari peluang dalam hubungannya dengan kegiatan pemerintah justru dipandang sebagai hal yang wajar bah-kan sebagai sesuatu yang ‘sudah seha-rusnya’ demikan. Memperbaiki dan meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah satu tantangan yang harus segera mendapat perhatian.

Bayu Krisnamurthi, Djabarudin Djohan, ”Membangun koperasi pertanian Berbasis Anggota”, Jakarta, 2002

pemberdayaan koperasi

Masih rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi. Sementara itu sampai dengan akhir tahun 2003, jumlah koperasi mencapai 123 ribu unit, dengan jumlah anggota sebanyak 27,3 juta orang. Meskipun jumlahnya cukup besar dan terus meningkat, kinerja koperasi masih jauh dari yang diharapkan. Sebagai contoh, jumlah koperasi yang aktif pada tahun 2003 adalah sebanyak 93,8 ribu unit atau hanya sekitar 76% dari koperasi yang ada. Diantara koperasi yang aktif tersebut, hanya 44,7 ribu koperasi atau kurang dari 48% yang menyelenggarakan rapat anggota tahunan (RAT), salah satu perangkat organisasi yang merupakan lembaga (forum) pengambilan keputusan tertinggi dalam organisasi koperasi. Selain itu, secara rata-rata baru 27% koperasi aktif yang memiliki manajer koperasi.
Tertinggalnya kinerja koperasi dan kurang baiknya citra koperasi. Kurangnya pemahaman tentang koperasi sebagai badan usaha yang memiliki struktur kelembagaan (struktur organisasi, struktur kekuasaan, dan struktur insentif) yang unik/khas dibandingkan badan usaha lainnya, serta kurang memasyarakatnya informasi tentang praktek-praktek berkoperasi yang benar (best practices) telah menimbulkan berbagai permasalahan mendasar yang menjadi kendala bagi kemajuan perkoperasian di Indonesia. Pertama, banyak koperasi yang terbentuk tanpa didasari oleh adanya kebutuhan/ kepentingan ekonomi bersama dan prinsip kesukarelaan dari para anggotanya, sehingga kehilangan jati dirinya sebagai koperasi sejati yang otonom dan swadaya/mandiri. Kedua, banyak koperasi yang tidak dikelola secara profesional dengan menggunakan teknologi dan kaidah ekonomi moderen sebagaimana layaknya sebuah badan usaha. Ketiga, masih terdapat kebijakan dan regulasi yang kurang mendukung kemajuan koperasi. Keempat, koperasi masih sering dijadikan alat oleh segelintir orang/kelompok, baik di luar maupun di dalam gerakan koperasi itu sendiri, untuk mewujudkan kepentingan pribadi atau golongannya yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan kepentingan anggota koperasi yang bersangkutan dan nilai-nilai luhur serta prinsip-prinsip koperasi. Sebagai akibatnya: (i) kinerja dan kontribusi koperasi dalam perekonomian relatif tertinggal dibandingkan badan usaha lainnya, dan (ii) citra koperasi di mata masyarakat kurang baik. Lebih lanjut, kondisi tersebut mengakibatkan terkikisnya kepercayaan, kepedulian dan dukungan masyarakat kepada koperasi.
Kurang kondusifnya iklim usaha. Koperasi dan UMKM pada umumnya juga masih menghadapi berbagai masalah yang terkait dengan iklim usaha yang kurang kondusif, di antaranya adalah: (a) ketidakpastian dan ketidakjelasan prosedur perizinan yang mengakibatkan besarnya biaya transaksi, panjangnya proses perijinan dan timbulnya berbagai pungutan tidak resmi; (b) praktik bisnis dan persaingan usaha yang tidak sehat; dan (c) lemahnya koordinasi lintas instansi dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM. Di samping itu, otonomi daerah yang diharapkan mampu mempercepat tumbuhnya iklim usaha yang kondusif bagi koperasi dan UMKM, ternyata belum menunjukkan kemajuan yang merata. Sejumlah daerah telah mengidentifikasi peraturan-peraturan yang menghambat sekaligus berusaha mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan dan bahkan telah meningkatkan pelayanan kepada koperasi dan UMKM dengan mengembangkan pola pelayanan satu atap. Namun masih terdapat daerah lain yang memandang koperasi dan UMKM sebagai sumber pendapatan asli daerah dengan mengenakan pungutan-pungutan baru yang tidak perlu sehingga biaya usaha koperasi dan UMKM meningkat. Disamping itu kesadaran tentang hak atas kekayaan intelektual (HaKI) dan pengelolaan lingkungan masih belum berkembang.

http://www.google.co.id/search?q=koperasi&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a#q=bisnis+koperasi&hl=id&client=firefox-a&rls=org.mozilla:en-US:official&prmd=imvns&ei=JI8FT5bcL8HHrQfTkrn-Dw&start=10&sa=N&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.,cf.osb&fp=43f18e099b5d1123&biw=1360&bih=609

PEMBANGUNAN KOPERASI

Kendala yang dihadapi masyarakat dalam mengembangkan koperasi di negara berkembang adalah sebagai berikut :
a) Sering koperasi hanya dianggap sebagai organisasi swadaya yang otonom partisipatif dan demokratis dari rakyat kecil (kelas bawah) seperti petani, pengrajin, pedagang dan pekerja/buruh
b) Disamping itu ada berbagai pendapat yang berbeda dan diskusi-diskusi yang controversial mengenai keberhasilan dan kegagalan seta dampak koperasi terhadapa proses pembangunan ekonomi social di negara-negara dunia ketiga (sedang berkembang) merupakan alas an yang mendesak untuk mengadakan perbaikan tatacara evaluasi atas organisasi-organisasi swadaya koperasi.
c) Kriteria ( tolok ukur) yang dipergunakan untuk mengevaluasi koperasi seperti perkembangan anggota, dan hasil penjualan koperasi kepada anggota, pangsa pasar penjualan koperasi, modal penyertaan para anggota, cadangan SHU, rabat dan sebagainya, telah dan masih sering digunakan sebagai indikator mengenai efisiensi koperasi.
Konsepsi mengenai sponsor pemerintah dalam perkembangan koperasi yang otonom dalam bentuk model tiga tahap, yaitu :
· Offisialisasi
Mendukung perintisan pembentukan Organisasi Koperasi.
Tujuan utama selama tahap ini adalah merintis pembentukan koperasi dari perusahaan koperasi, menurut ukuran, struktur dan kemampuan manajemennya,cukup mampu melayani kepentingan para anggotanya secara efisien dengan menawarkan barang dan jasa yang sesuai dengan tujuan dan kebutuhannya dengan harapan agar dalam jangka panjang mampu dipenuhi sendiri oleh organisasi koperasi yang otonom.
· De Offisialisasi
Melepaskan koperasi dari ketergantungannya pada sponsor dan pengawasan teknis, Manajemen dan keuangan secara langsung dari organisasi yand dikendalikan oleh Negara.
Tujuan utama dari tahap ini adalah mendukung perkembangan sendiri koperasi ketingkat kemandirian dan otonomi artinya, bantuan, bimbingan dan pengawasan atau pengendalian langsung harus dikurangi.
Perkembangan koperasi sebagai Organisasi mandiri yang otonom
Setelah berhasil mencapai tingkat swadaya dan otonom, koperasi-koperasi yang sebelumnya disponsori oleh Negara dan mengembangkan dirinya sebagai organisasi swadaya koperasi bekerja sama dan didukung oleh lembaga-lembaga koperasi sekunder dan tersier.

http://banizamzami.blogspot.com/2009/11/perkembangan-koperasi-di-negara.html
GUNADARMA UNIVERSITY